7 - He's back

9K 589 3
                                    

--10 years later--

Sepuluh tahun sudah berlalu, dia tidak juga memunculkan batang hidungnya. Ridhaan sialan! Mana janjinya yang hanya tiga sampai empat tahun. Ini?

Selama ini aku menghindari semua jenis cowok yang mendatangiku hanya untuk menunggunya. Dari tua-tua keladi sampai tunas baru yang mendekatiku, semuanya kutolak mentah-mentah. Hatiku sudah dibawa pergi sama si bawel satu itu dan belum dikembalikan sampai saat ini juga. Entah dimana dia sekarang dan sedang apa. Tidak mungkin kan kalau dia sudah tidak di bumi ini lagi. Oh, jangan Tuhan!

"Om Ridhaan balik." Hanya kalimat itu, mampu membuatku kehabisan akal. Mengerem mobil secara mendadak di tengah perjalanan kami. "Om Ridhaan balik dan kerja di kantor ayah. Dia kadiv di divisi G mulai besok," ulangnya. Dia yang menyampaikannya adalah keponakan, anak sepupuku. Namanya Anggun, tapi tidak anggun sama sekali. Bukannya aku berniat mengatainya, tapi dia sendiri juga mengakuinya. Kami tidak sengaja bertemu di kantor ayahnya, aku pikir dia sedang menunggu taksi. Kebetulan aku ada urusan di sana. Bingung mau berkata apa, aku malah mengajaknya makan sebelum nanti aku mengantarkannya pulang.

Menikmati makanan Italia sepertinya cukup untuk menghilangkan kegundahanku. Dia pulang tapi tidak segera mencariku. Sekedar mengatakan 'hai' gitu. Malah Anggun yang lebih dulu tau. Sejak dulu mereka memang akrab sih. Aku tau.

"Kenapa baru pulang, kak? Eh, Kaira?" tanya kak Bila, ibu Anggun. Dia segera berdiri dan memelukku. Walau sering bertemu, seperti inilah kebiasaan kami.

Sedetik setelah melepas pelukan kak Bila, aku mendadak tegang. Ya, ada Ridhaan di sana. Duduk dengan tenang di hadapan kak Jac. Sedangkan Anggun a.k.a G, sudah duduk di sofa tunggal di sebelah Ridhaan. Ingin sekali kupitas anak ini, tapi aku mencoba mengendalikan emosiku. Aku tidak ingin ribut di rumah orang.

Dan kalian tau, ini adalah rumah dimana aku juga pertama kali bertemu dengannya di usia enam tahun. Pertemuan konyol dua puluh satu tahun yang lalu.

"Hai, Ai." Sebutan itu terdengar lagi olehku setelah sepuluh tahun menghilang. Ya, hanya dia yang memanggilku demikian. Aku hanya memasang senyum kecil yang bahkan hilang dalam sekedip mata. Tidak ada pilihan lain, aku duduk di sebelahnya. Tapi tidak sedetikpun aku aku melihat ke arahnya. Entah kemana arah pandangnya sekarang, entah bagaimana ekspresinya, aku tidak ingin tau.

Kekesalanku tidak bisa diabaikan begitu saja. Setelah kami keluar dari rumah ini nanti, aku cekik saja sekalian lehernya. Biar dia tau bagaimana rasanya sakit.

Percakapan dengan kak Jac dan kak Bila tak kudengarkan dengan benar. Pikiranku tidak berada di tubuhku. Berkali-kali aku harus dengan bodohnya mengatakan 'eh?', 'apa tadi?' dan sejenisnya saat mereka menanyakan sesuatu padaku.

Dalam sekejap setelah pintu rumah sakral itu tertutup, Ridhaan menarik tanganku, entah kemana diseretnya. Ya, kami pulang dalam waktu yang sama karena dia juga langsung pamit pulang pada kak Jac saat aku bilang akan pulang.

"Apa sih? Lepasin!" bentakku kesal. Kurasakan pergelangan tanganku panas, mungkin sudah memerah karena genggamannya.

Dia mengunciku dengan kedua tangannya di balik mobilnya. Aku tau itu mobilnya karena dia sudah mematikan alarmnya sesaat tadi. Tatapannya tajam tertuju padaku, namun bukan mengintimidasiku. Tatapan itu sekilas seperti tatapan menyesal. Ya, seharusnya dia merasa bersalah sudah melupakan janjinya padaku.

Aku tak membuka mulut sama sekali, menunggu dia yang pertama kali mengatakan kalimat itu tanpa aku minta. "Maaf, Ai. Kamu apa kabar?"

Huh, permintaan maaf macam apa itu? Apa dia tidak pintar mengeluarkan kata-kata manis lagi? Aku sungguh berharap akan hal itu tadi. Sepuluh tahun tak mendengarnya, tentu saja aku sangat merindukan hal itu. SANGAT!

Aku membuang pandanganku darinya. Kesal sekali rasanya. Ternyata yang kutunggu tidak keluar juga dari mulutnya. Merasa menyesal telah menunggunya sekian lama. Sepuluh tahun bukan waktu yang singkat. Kalian tau kan? Zaman saja sudah berubah dalam waktu tersebut. Aku rasa hanya aku yang tidak berubah. Tetap setia menunggunya walau dia sepertinya sudah tidak menginginkanku.

"Aku minta maaf, Ai. Kamu belum lupa dengan sebutan itu kan?" Dia memelukku sangat erat, membuat nafasku sesak. Aku merasa seperti tercekik. Bukankah tadi aku yang berencana melakukan ini padanya? Kenapa malah balik padaku?

"Aku benci kau, Ri. Aku benci kau!" teriakku.

"Aku juga cinta kamu, Ai." Dia menciumku seperti sepuluh tahun lalu.

KaiRidhaan (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang