last part
--
Aku melangkah tanpa memikirkan Ridhaan lagi. Biar saja dia merasakan bagaimana rasanya dicueki. Tidak dianggap ada. Kekesalanku padanya belum berkurang sedikitpun.
"Tante, lagi marahan ya sama om Ridhaan? Mukanya kusut banget." Aku menerima sebuah pesan dari keponakan tomboy-ku.
"Biarkan saja. Tante lagi malas dengannya."
Aku memfokuskan diri pada pekerjaanku. Tidak ingin memikirkannya. Tapi nyatanya, dia selalu saja muncul di benakku. Kenapa sih senang banget gangguin hidupku? Apa dia masih belum puas kalau aku belum mencak-mencak?
Aku menggelengkan kepala mengusir bayangan dirinya yang masih menghantuiku. Ah, sepertinya aku butuh meditasi nih. Atau mungkin hilang ingatan saja sekalian, biar dia tidak masuk lagi dalam pikiranku.
Sudah beberapa hari, dia masih saja senang menggangguku, bahkan menguntitku. Mengikuti segala kegiatanku tanpa hentinya seakan dia tidak punya pekerjaan selain mengikutiku. Meski selalu mendapat penolakan dariku, tidak ada yang berubah sedikitpun darinya. Dia mungkin sudah gila dengan hal ini.
"Hai." Dia dengan santainya duduk di hadapanku saat aku sendirian menikmati makan malam di sebuah restoran. Pikiranku memang sedang sedikit kacau karena pekerjaan, membuatku ingin menyendiri. Tau-taunya malah makhluk halus satu ini datang menguntitku. Membuat kekesalanku semakin memuncak saja.
Aku hanya mendengus sebal ke arahnya. Sebenarnya aku sudah sangat puas mengerjainya beberapa hari ini, yang ada malah ketagihan. Cukup menyenangkan melakukannya. Tapi kali ini aku sedang tidak mood melakukannya.
"Kenapa sendirian, Ai?" tanyanya.
"Lalu kamu apa?"
Dia terkekeh. "Oh iya, ada aku ya. Maksudnya, dari tadi kenapa sendirian aja? Sorry ya, aku agak telat datang. Tadi ada sedikit masalah. Bagaimana harimu? Apakah menyenangkan?" cerocosnya tanpa henti.
Aku menunduk menatap makanan yang belum bisa kuhabiskan karena nafsu makanku menghilang. Tanganku bergerak mengaduk-aduknya. Tidak berniat menghabiskannya lagi.
Ridhaan menahan tanganku. "Makanan itu untuk dimakan, bukan hanya diaduk-aduk seperti itu. Kamu lihat, tubuhmu semakin kecil saja. Kamu seharusnya makan yang banyak. Kamu tidak cocok terlalu kurus, terlihat seperti sapu lidi. Rata."
Aku menatapnya dalam. Sosok ini, sosok yang kurindukan bertahun-tahun, dia masih sama seperti dulu. Tidak ada yang berubah meski sekian lama berada di tempat yang sangat jauh. Dia masih Ridhaan-ku. Dia pria-ku.
Pikiranku jadi melayang saat dia berada di kota bebas itu. Apakah dia sama sekali tidak menemukan penggantiku di sana? Benarkah dia setia hanya untukku? Memikirkan dia sedang bersama gadis-gadis pirang yang montok dan seksi, membuatku ingin mengelurkan isi perutku saja.
Tangannya terulur mengelus rambutku. "Aku sama sekali tidak pernah tertarik sama gadis-gadis disana. Montok dan seksi sama sekali tidak mampu menarik perhatianku. Kamu lebih dari segalanya. Tidak akan sebanding dengan mereka. Dan aku lebih memilih dirimu. Kamu yang aku inginkan."
Kata-katanya cukup menyanjungku. Kalaupun itu hanya gombalan belaka, gadis normal akan langsung jatuh padanya. Dan aku hanyalah gadis normal.
Aku bangkit dari dudukku, berjalan ke arahnya dan mendudukkan diriku di pangkuannya. Biar saja apa kata orang. Aku hanya benar-benar merindukan sosok ini. Aku tidak bisa lagi menahan diriku untuk tidak memeluk dan menciumnya. Cukup sudah pembalasanku beberapa hari yang membuat dia tersiksa dan uring-uringan. Sekarang saatnya kami untuk kembali pada jalan kami. Bukan hanya ada aku dan kamu lagi. Tapi kita. Ini adalah jalan hidup kita bersama.
"Jadi aku sudah dimaafkan?" bisiknya melihat reaksi diriku.
Aku mengangguk. "Bawa aku ke orang tuamu. Aku sudah siap. Tidak ada yang perlu dipikirkan lagi. Aku juga mencintaimu," balasku tanpa tau malu.
Ridhaan terkekeh. "Aku memang sudah menduga pada akhirnya akan seperti ini. pesonaku memang tidak bisa diabaikan begitu saja. "I love you, Ai."
***
END
Mampir ke lapakku yang lain yaa
Jangan lupa tinggalkan jejak, dan kalau bisa kasih saran dan masukan..

KAMU SEDANG MEMBACA
KaiRidhaan (COMPLETED)
Teen FictionAku mengenalnya sejak usiaku masih enam tahun. Entah bagaimana istri sepupuku itu bisa mengenalnya dan membuat kami bertemu tanpa sengaja. Setelah perpisahan selama sepuluh tahun, dia kembali dengan wajah tidak berdosanya. Di tempat dulu pertama ka...