"Mereka sangat cocok yah, mesra lagi. Ridhaan memang cowok yang romantis."
"Iya, aku juga mau jadi ceweknya."
"Eh, aku dengar mereka mau tunangan loh."
"Seriusan? Ya ampun, nggak ada lagi dong kesempatan buat deketin Ridhaan. Padahal kan pengen ngerasain juga gimana jadi ceweknya. Ah, andai saja aku cewek beruntung yang dapetin Ridhaan itu."
"Aku juga mau kali. Dan kalian tau nggak sih, katanya mereka akan langsung menikah setelah lulus sma nanti. Mereka mau nikah muda."
"Dia itu punya kembaran nggak sih yang sama seperti dia. Atau kakaknya gitu."
"Kakak sih punya, tapi udah jadi om-om."
Tiga jenis suara yang mendebatkan seseorang bernama Ridhaan itu memenuhi telingaku. Kulirik mereka juga sedang memperhatikan ke luar, seperti sedang mengintip objek yang mereka bicarakan. Tapi Ridhaan siapa itu? Tunangan?
Aku mengabaikan mereka saja. Yang namanya Ridhaan sepertinya bukan hanya dia. Aku kembali dengan buku-buku catatanku. Pagi ini aku memang belum melihat Ridhaan sama sekali. Sedikit merasa aman, tidak ada gangguan. Tapi sayangnya, karena sudah keseringan mungkin, seakan ada yang hilang. Ah, kau dimana Ri?
"Hai Ridhaan..." Suara itu terdengar lagi. Tiga jenis suara yang terdengar bersamaan. Nadanya sungguh sangat membuatku ingin mengeluarkan isi perut.
Aku mengangkat wajah dan melihat Ridhaan siapa yang mereka maksud. Rasa penasaranku tidak bisa kututupi. Eh, itu Ridhaan..., Ridhaan-ku. Hm, maksudnya Ridhaan yang menyerahkan dirinya menjadi milikku. Lalu, Ridhaan yang mereka bicarakan tadi itu Ridhaan-ku? Oh, ada apa denganku? Emosiku sepertinya memuncak tiba-tiba. Ingin mengacak-acak wajah ketiga gadis penggosip itu.
"Pagi, Ai," sapanya lembut seperti biasanya. Tidak ada balasan dariku. Aku tidak mengerti alasannya apa. Hanya saja aku merasa kesal dengannya.
Saat jam istirahat, aku mengabaikannya begitu saja. Aku membawa bekal makan siang yang disiapkan mama, ingin ke kantin. Lengkap dengan botol minum dan buah potongnya. Aku akan makan sendiri di sana tanpa menghiraukan keberadaannya.
Baru beberapa langkah dari kelas, Ridhaan sudah berada di sampingku dan menggenggam tanganku. Aku menatapnya kesal, malah dibalas dengan cengiran.
Duduk tanpa mengatakan apa-apa, hingga menghabiskan makan siang masih dalam berdiam ria. Dia memandangiku dengan tatapan tidak berdosanya. Menyebalkan!
"Sebenarnya kamu kenapa, Ai?" tanya Ridhaan yang menyadari kediamanku.
"Tidak apa-apa. Lagipula, apa urusannya denganmu kalau ada apa-apa denganku?" balasku ketus. Entahlah, aku hanya ingin seperti itu. Padahal bukan lagi PMS.
"Hei, apa kamu lupa, Ai? Aku ini kan pacar kamu. Kamu itu milik aku dan aku milik kamu. Wajar dong kalau aku harus tau keadaan pacarku. Sekarang kamu bilang samaku, kamu kenapa?" Sepertinya dia tidak akan berhenti menginterogasiku.
"Pacar, pacar. Lalu siapa yang katanya sudah akan bertunangan?" cercaku.
"Bertunangan? Siapa? Aku juga nggak tau. Apa kita berdua?" godanya lagi. Selalu saja ada celah yang dia manfaatkan untuk mengucapkan kata gombalnya. Dasar!
"Tadi aku dengar di kelas ada yang mau tunangan katanya." Ops! Kenapa malah ngomong itu sih? Aduh, ketahuan dong kalau aku nguping-nguping nggak jelas.
"Kalau kamu mau, ayo." Aku melotot padanya. "Ah, aku tau. Kamu cemburu ya?"
Benarkah aku cemburu? Apa ini yang namanya cemburu? Aku tidak mengerti.
Aku mendengus menyembunyikan kegugupan. "Huh, si...siapa yang cemburu? Nggak tuh." Padahal dalam hati ingin segera melarikan diri dari cowok satu ini.
"Ciee, kamu cemburu ya, Ai? Kamu cinta banget ya sama aku, sampai kabar yang nggak jelas aja pake dicemburuin." Dia mencolek hidungku. "Yang mau tunangan itu kak Rhidan anak XII IPS2. Kamu tuh nggak tau apa-apa udah marah aja. Tapi aku senang sih, Ai. Berarti kamu memang cinta sama aku. Jadi aku nggak perlu ragu lagi sama kamu. I love you too, Ai." Dia mengangkat tanganku dan menciumnya. Senyuman khasnya yang sangat manis menunjukkan deretan giginya.
KAMU SEDANG MEMBACA
KaiRidhaan (COMPLETED)
Teen FictionAku mengenalnya sejak usiaku masih enam tahun. Entah bagaimana istri sepupuku itu bisa mengenalnya dan membuat kami bertemu tanpa sengaja. Setelah perpisahan selama sepuluh tahun, dia kembali dengan wajah tidak berdosanya. Di tempat dulu pertama ka...