Rain

338 9 0
                                    

Something in the rain.

Apa yang terjadi ketika hujan?

Dua pasang mata itu saling bersitatap tidak sengaja. Tak ada getaran emosi apapun yang menyelimuti jiwa, hanya tatapan datar tanpa jeda kedip. Juga hela napas yang terdengar berat karena ketidak sengajaan itu membawa suasana yang berbeda.

"Bim, masukin hape lo ke tas anjir. Malah bengong." Abimana, dengan tangan yang masih menggenggam ponsel tersadar dari lamunan ketika Melani menyenggol lengannya pelan.

"Eh iya." Jawab Abimana seraya mengambil tas dan memasukkan ponselnya. Kesadaran Abimana turut menyadarkan orang di depan sana yang tak sadar ikut melamun. Mengabaikan layar presentasinya yang telah menyala.

Alam bawah sadarnya tak sengaja memproses kejadian beberapa waktu yang lalu ketika mata teduhnya bertemu dengan mata tajam milik Abimana.

"Aku nggak akan kayak gini kalo setidaknya kamu itu ngomong sama aku, Bima!" Seruannya menggema. Menelan kesunyian di tengah hening taman komplek.

Abimana terdiam, menatap dalam perempuan di hadapannya dengan kebisuan. Masih enggan menjawab, masih enggan memberikan alasan karena posisinya yang salah telak.

"Dengerin aku dulu, Ren." Renata memalingkan wajah saat Abimana dengan lembut menyentuh lengannya, meminta perempuan itu untuk mendengarkannya lebih dulu.

"Dengerin apa lagi? Alesan apa lagi? Kamu selalu kayak gini, kamu seolah nggak butuh aku, Bim. Dari dulu, selalu kayak gini." Ada air mata yang telah menggenang di pelupuk mata si cantik. Yang membuat Abimana ingin memukuli dirinya sendiri karena lagi-lagi menyebabkan air mata itu terjatuh.

"Ren," Nada bicara lelaki itu menegas. Membuat Renata terdiam, tetapi detik berikutnya perempuan itu menepis tangan lelaki di hadapannya.

"Apa? Kamu capek? Saya juga, Bima. Renungin kesalahan kamu, berubah. Baru temui saya."

Kembalinya penggunaan saya dalam ucapan Renata terasa bagai sayatan belati pada dada Abimana. Perempuan yang terpaut beberapa tahun di atasnya itu tengah menegaskan jika hubungan mereka bagai tengah berada di ujung jurang. Pilihannya hanya kembali dan perbaiki atau turun bersama dan hancur berantakan.

"Bu, Bu Rena–" lamunan Renata buyar. Ia menoleh sedikit gelagapan ke arah seorang mahasiswa yang sedang memberikan map absensi padanya. "Ini absennya bu."

"Oh iya, makasih ya. Silahkan duduk kembali."

Senyuman manis itu membawa debaran yang begitu kuat pada benak Abimana. Lelaki itu bahkan tanpa sadar menelan ludahnya pelan. Ditatapnya layar presentasi di depan seolah perempuan yang tengah berdiri di depan itu bukan lagi hal yang menarik.

"Bu Renata cakep banget anjir. Pasti banyak dosen muda lain yang naksir ya." Abimana tertawa kecil saat mendengar bisikan Melani di sampingnya.

"Iya." Balas lelaki itu singkat, dengan satu pandangan yang ia layangkan pada perempuan di depan yang terburu mengalihkan pandangan saat mata keduanya tak sengaja bertemu.

"Tau dosen baru gak? Joan eh siapa, Joan iya. Tau gak?"

Abimana tertawa saat mengerti akan kemana pembicaraan mereka. "Tau, kenapa?"

Wajah cemberut Renata menjelaskan situasi yang terjadi antara dirinya dan dosen baru yang baru saja tersebutkan di antara mereka. "Dia naksir kamu?" Pertanyaan Abimana bahkan tak memerlukan jawaban.

"Aku tuh udah bilang kalo ada pacar, ngotot banget ih dia nya. Bikin risih tau." Lagi, Abimana tertawa kecil. Melihat bagaimana wajah ayu itu menggerutu terlihat sangat menggemaskan.

One ShotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang