Begin

1.1K 28 0
                                    

Beberapa waktu sebelum keduanya terjebak dalam rasa fana yang melena.



Hingar bingar tak selamanya melenakan. Beberapa justru melunakkan sebuah hati yang telah lama mati. Sebuah perasaan yang telah lama tak mengecap rupa, kini mendadak berubah menjadi angkara tak kentara. Hampir-hampir menghancurkan isi kepala si puan ayu yang jauh tak terengkuh dekap.

"Ikut gue aja." Itu ajakan yang Jean Aldrich tawarkan siang tadi di tempat biasa Wanda Ayu melarikan diri dari bising kelas pagi.

Tak ada pilihan, mungkin begitu bagi kepala Wanda. Meski sebenarnya ada ketakutan luar biasa ketika ia menebak tempat yang Jean tawarkan.

Tapi tawaran itu serupa penawar manjur. Bagi hatinya yang kalut, juga bagi kepalanya yang ribut.

Di sini Wanda sekarang, dikelilingi beberapa lelaki asing teman dekat Jean yang ia hanya mengenal satu-dua. Kebanyakan dari berbeda fakultas, sehingga membuat dirinya enggan berkenalan. Wanda tak suka membuang waktunya untuk menambah kenalan manusia.

Cukup. Dan tak perlu lagi.

"Je, gue pesen minum bentar." Pamit si ayu seraya melepaskan lengan Jean yang melingkari pinggangnya erat. Menjaga, katanya.

Jean melepaskan tangannya, lantas membiarkan Wanda berjalan sendirian menuju meja bar guna memesan minuman. Masih dalam jangkau pandang, sehingga tak masalah baginya.

Wanda hanya memesan wine, ia tidak berniat untuk mabuk berat malam ini. Sembari menanti pesanannya, si ayu menyalakan pemantik api dan menyulutkannya pada rokok yang telah berada di apitan bibir merahnya.

Asap tipis mengembang di sekitar, hingga tak ia sadari jika seseorang telah menarik bangku tepat di sampingnya dan tersenyum manis kearah dirinya yang menautkan kedua alis karena heran. Semua itu, tak luput dari pandangan Jean.

"Temennya Jean ya?" Tanya lelaki itu, memulai basa-basi.

Wanda tersenyum tipis, bibirnya menghembuskan pelan asap rokok. "Iya."

Hal yang tak Wanda sangka adalah saat lelaki pemilik senyuman manis menghanyutkan itu tiba-tiba mengulurkan tangan dan menanti sambutannya. "Nala." Sebelah alis si tampan terangkat, menuntut jawaban dan sambutan tangan halus Wanda.

Wanda mengamati tangan dan wajah lelaki itu bergantian, bibirnya tak lupa menyunggingkan senyuman miring angkuh. "Wanda." Balasnya singkat dan langsung menarik kembali tangannya.

Nala mengangguk, menyukai cara Wanda meremehkannya. "Temen kampus? Apa temen-"

"Temen kampus. Lo sendiri?"

"Loh, berarti anak NCIT juga?" Untuk mendapatkan ikan yang besar, maka harus memasang umpan yang lezat.

Kepala Wanda mengangguk antusias karena lawan bicaranya yang memiliki pembawaan menyenangkan. "Iya. Lo sendiri?"

"Gue juga anak NCIT, di dkv sih gue."

Si cantik menggugurkan abu rokok dengan jemari telunjuk lentiknya. "Oh ya?"

"Wait. Gue kayak ga asing sama lo." Jemari Nala tergerak. Memutar ulang eksistensi Wanda yang terasa pernah hadir dalam ingatannya. "Temennya Mala bukan sih?"

"Lah, tau Mala lo? Iya gue deket." Ada selentingan kejut yang menyadarkan Nala akan hubungannya dengan nama gadis yang baru saja mereka sebutkan. Tapi dasarnya lelaki, maka hubungan bukanlah sebuah batas.

"Berarti temennya Raka juga kan lo?"

Jemari Wanda Ayu terjentik anggun. "Iya. Lo, temennya Raka juga?"

One ShotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang