Bittersweet

287 8 0
                                    

Berdiri dan melihat seseorang yang biasanya berada dalam rangkulannya namun kini justru melingkarkan lengan pada sosok lain ternyata cukup membuat William hanya mampu terdiam di tempatnya. Berdiri dengan kedua tangan yang masuk di saku celana dan senyuman miring yang terukir di bibir.

Apakah waktunya hanya sisa sampai di sini?

Perasaan asing yang perlahan-lahan menikamnya terasa seperti sebuah bumerang. Ia bagai akan kembali tertikam kemanapun langkahnya akan melarikan diri. Tawa bergemerincing merdu yang biasanya hanya muncul saat dengannya itu kini telah menjadi milik sosok lain.

Langkahnya yang lambat hingga akhirnya ia terlambat, atau memang kehadirannya yang tidak pernah teranggap?

William menatap langit saat dirinya sendiripun tidak menemukan jawaban. Ada rajuk minta ingin dijemput setengah jam yang lalu saat ia mengatakan jika dirinya tengah makan malam bersama kedua orang tuanya. Lantas kemana hilangnya rajuk itu saat ia datang yang ia temui justru gadisnya bersama dalam rengkuhan sosok lain? Dengan tawa berderai.

William itu kalau kata teman-temannya terlalu pengecut untuk sekadar menyatakan perasaan. Tapi bagi dirinya, apa yang perlu ia nyatakan jika mereka dekat lebih dari sekedar teman? Bukankah tidak ada teman yang saling menginap di tempat satu sama lain? Bukankah tidak ada teman yang biasa menghabiskan akhir pekan di bawah satu selimut yang sama?

Seharusnya apa yang ia lakukan cukup. Bukankah begitu? Atau sebenarnya, hanya dirinya sendiri yang merasa cukup? Karena hanya dirinya yang mengikut sertakan segala perasaanya.

Oh shit. Makian itu keluar saat ia menyadari jika pikirannya mungkin benar. Jika ia hanyalah sosok pengisi kekosongan malam, bukan sebagai pemilik setiap malam atau justru perasaan. William yakin, jika saat ini Daniel tengah melihat dirinya yang hanya mampu terdiam pasti lelaki itu akan tertawa keras seraya mengumpati kebodohannya.

"Who's your first kiss, Will?" Pertanyaan itu pernah Kayna lontarkan saat keduanya menghabiskan malam valentine dengan sebotol wine dan dinginnya udara kota malam hari di balkon unit apartemen milik gadis itu.

William mengukir senyuman, sedangkan Kayna tengah menanti jawabannya. Bagai ia harus mengetahuinya untuk memberikan penilaian. "Bukannya dulu kita nyoba barengan?" Di rooftop tempat mereka biasa menghabiskan waktu ketika pulang sekolah, tempat tongkrongan mereka.

Kayna mengulas senyuman lebar. "Barangkali ada sebelum gue."

Bagaimana mungkin bisa? Itu yang ingin William jawab saat itu. Bagaimana mungkin bisa dirinya mencoba dengan orang lain saat hanya Kayna yang memenuhi segala pikirannya.

"Ngapain? Sebelum lo emang mau sama siapa coba?" Balasnya saat itu, seraya kembali menyesap wine di gelasnya.

Kayna menegakkan duduk, melepaskan rangkulannya pada lengan William. "Mungkin? Temen lo kan banyak."

"Gak minat." Singkat dan seharusnya Kayna memahami arti itu. Tapi sayangnya Kayna adalah gadis yang berbeda, jangankan melalui kode. Pernah didekati hingga dinner fancy berdua dengan seorang kakak tingkat saja ia masih hanya menganggap hal itu sebagai bentuk sebuah pertemanan dan tidak lebih.

"Tapi dulu rasanya aneh banget, Will." Ucap gadis itu yang menarik gelas di tangan William.

"Emang sekarang rasanya beda?"

Kayna mengangguk. "Beda, apalagi kalo habis minum gini."

William menyeringai kecil. Ia tatap sosok Kayna yang kini menurunkan gelas dari bibirnya. Jemari William entah sejak kapan membelai bibir bawah gadis itu. "Sini, gue buktiin."

Lelaki itu mengusap wajahnya saat kembali tersadar jika mungkin waktunya hanya tiba sampai di sini. Langkah kakinya yang semakin terasa memberat ia bawa pergi. Seharusnya ia tidak peduli, mengingat status mereka yang hanya teman. Tetapi terlalu berat, ia terlalu sulit untuk membohongi dirinya sendiri agar tetap baik-baik saja.





One ShotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang