Immortal Love

258 1 1
                                    

Mungkin di dunia yang lain, kita bisa saja saling mencintai.

Mungkin.

Pikiran tentang kemungkinan itu selalu menghantui pikiran Sabda beberapa malam terakhir. Sejak pertemuan tak sengajanya dengan gadis berambut hitam lurus sepungung, pemilik toko roti yang berada di depan kantornya.

Kang Zurrea. Nama itu selalu terngiang di kepala Sabda sejak mereka lulus sekolah menengah ke atas. Sejak gadis itu menemuinya di lorong depan kelas yang telah sepi. Sejak Rea mengucapkan satu permintaan tolongnya. "Tolong, anggep aja kita nggak pernah saling kenal sewaktu di kampus nanti. Maaf karena aku harus masuk di jurusan yang sama kayak kamu."

Sabdatama hanya dapat memaku ketika mendengar permintaan tolong itu. Dunianya bagai runtuh di siang bolong. Bahkan ketika matahari sedang bersinar terik-teriknya. Ucapan Rea sama sekali tak meninggalkan alasan yang dapat Sabda pahami. Pertanyaan 'kenapa' yang mengganjal di dalam benaknya selamanya hanya akan terpendam.

Kemudian mereka asing. Sebagaimana Kang Zurrea pernah meminta.

Dan hari ini, tepat delapan tahun setelah hari itu Rea meminta untuk tidak saling mengenal mereka kembali dipertemukan. Senyuman Rea masih sama manisnya meskipun hampir satu dekade lamanya mereka tidak saling bertemu. Tidak banyak yang berubah dari Rea selain sorot matanya yang semakin sayu.

Tetapi sorot mata teduh itu pula yang berhasil menyihir kembali seorang Sabdatama. Membuatnya kaku dan seperti kembali pada usia belasan ketika pertama kali mengenal perasaan suka. Sabda gugup bukan main. Ketika Rea tersenyum menyapanya ramah di balik meja kasir sebagaimana ia menyapa pelanggannya yang lain.

"Ada yang bisa saya bantu, Kak? Mau pesan apa?"

Sabda yang terlampau gugup hanya menunjuk asal salah satu roti yang berada di etalase. Dimana ketika ia tengah mengusap hidungnya untuk berusaha menetralkan perasaan, Rea yang sedang mengambil roti sejenak terdiam. Keduanya bersitatap berbatasan kaca etalase.

"Sabda?"

Sabda mengangguk, senyumannya muncul perlahan. Telinganya memerah, ia tersipu malu. Persis seperti ketika sepuluh tahun yang lalu, ketika Rea pertama kali menerima ajakannya untuk pulang ke rumah bersama sepulang sekolah.

"Apa kabar? Maaf tadi nggak ngenalin, kamu berubah banyak." Tangan Rea cekatan membungkus roti itu di dalam paper bag.

"Aku baik, kamu sendiri gimana?" Kabar terakhir yang Sabda terima adalah Rea telah bercerai dengan suaminya yang merupakan senior mereka di kampus.

"Baik, ya as you see." Senyuman ramah Rea masih selalu sama.

Jawaban yang akan Sabda berikan terurungkan ketika pintu terbuka, disusul suara teriakan yang memenuhi seantero toko roti. "Mommy! Aku pulang!"

Sabda menoleh cepat saat Rea berjalan keluar dari kasir dan menerima terjangan dekapan dari seorang gadis cantik berambut hitam lurus. Kedua matanya yang bulat lucu persis seperti milik Rea. Wajahnya terlihat seperti blasteran mengingat suami Rea dan Rea sendiri memang berdarah Korea-Indonesia.

"Kamu pulang sama siapa kok sendirian?" Rea terlihat merapikan poni gadis cilik itu.

"Tadi sama Uncle John." Gadis itu menolehkan kepala ke belakang. "Oh, itu Uncle John."

Sabda tanpa sadar mengikuti arah pandang kedua orang yang berada di dekatnya. Ia terdiam selama beberapa saat, napasnya terhela panjang dengan pelan. Sebuah bentuk kekecewaan yang kembali ia rasakan.

Seorang lelaki bertubuh tinggi, lebih tinggi beberapa senti dari Sabda, berjalan menghampiri ibu dan anak yang berada di dekat Sabda.

"Kamu nggak kerja?" Tanya Rea, terdengar begitu dekat ke arah lelaki itu.

One ShotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang