Empty

265 8 1
                                    

Nyatanya sepi tak pernah berarti benar-benar sendiri. Sunyi tak berarti hening. Hampa tak selalu berarti kosong.

Dalam hingar bingar yang mendekap, dentum musik yang berisik, keramaian yang membelenggu. Kesepian masih merajami isi kepala.

Kepergian tak selamanya tentang menahan atau merelakan. Beberapa pamit berarti perpisahan tanpa kata kembali. Dunia hanya berisi paradoksal yang banyak diantaranya adalah omong kosong.

Kosong. Lantas kemana larinya seluruh isi hati yang pernah riuh itu? Kemana larinya seluruh perasaan berbunga yang pernah begitu eloknya unjuk diri akan cinta.

"Is it her, Gautama?"

Pelupuk mata itu sudah tergenang. Bersiap mengalirkan sungai kecil ketika terkedip. Pertanyaan itu diiringi dengan suara yang bergemetar. Menahan perih di benak yang tak mampu terucap lagi, barang hanya sepatah kata.

"Is it— her?" Sekali lagi tanya itu menuntut jawaban.

Nakula Gautama hanya mampu menatap puan di hadapannya dalam hening. Dalam diam yang lantas membawa kepalanya mengangguk pelan.

Terkuak sudah seluruh tabir yang selama ini tertutup rapat. Masa lalu nyatanya selalu menjadi pemenang. Orang baru hanya pelipur, bukan pengganti atau bahkan tambatan hati.

'Her' yang Raiya sebutkan adalah seseorang yang baru saja datang dari luar negri katanya. Secara tiba-tiba turut hadir dalam makan malam yang diadakan keluarga besar Nakula.

Ruangan besar itu hening. Tersisa deru napas Raiya Sandika yang tergugu, menahan tangisan. Nakula kelu, tak memiliki penjelasan atas pertanyaan yang Raiya utarakan.

"Rai,"

"Aku seharusnya nggak perlu berambisi bisa bikin kamu beneran jatuh cinta sama aku ya, Nak."

Kembalinya panggilan awal itu menerangkan seluruh kesakitan yang selama ini Raiya pendam sendirian. Ternyata tatapan kosong yang kadang menjadi ciri seorang Nakula itu hanyalah sebuah tabir.

Lelaki itu masih memiliki binar yang memang tersembunyi. Mengkhususkan untuk lain hati. Dan masih orang lama yang memenangi.

"Bukan gitu, Rai. Kamu dan dia itu beda, Raiya. Kalian–"

"Punya tempat masing-masing di hati kamu. Iya? Begitu, Nakula?" Mata yang memerah itu telah berair.

Seharusnya Raiya sadar sejak dulu. Sosoknya terlihat begitu mirip dengan perempuan yang tadi secara riang mendekap lelakinya ketika pertama kali datang. Menyapa keluarga besar Nakula dengan begitu hangat. Dan disambut dengan ramah, bak memang bagian dari mereka.

Nakula menjilat bibir bawahnya sekilas. Ia melangkah mendekat ke arah Raiya. Mencoba menenangkan puan ayu di hadapannya yang ia akui memang terlihat begitu mirip dengan seseorang yang hari ini datang, seseorang dari masa lalunya. "Iya."

Jawaban Nakula mendapat balasan tepisan tangan dari Raiya. Perasaannya sudah hancur berantakan. Mau diapakan lagi? Dari awal Nakula hanya sebatas jatuh yang membawa patah.

"Aku mau pulang." Raiya melangkah gusar menuju pintu kamar besar itu. Tetapi baru dua langkah kakinya berjalan, pintu justru terbuka lebih dulu dan memunculkan sosok yang membuat batin Raiya meraung.

"Hai." Sapa gadis berambut pirang sepinggang, dress yang ia kenakan hampir mirip dengan setelan Raiya. Mereka memiliki selera yang sama. Pantas. "Oh, sorry banget ganggu ya?"

Nakula melirik sekilas ke arah Raiya yang terdiam. Lelaki itu kemudian tersenyum ramah dan mendekat ke arah tamu yang tak diundang di antara mereka. "Enggak kok. Kenapa, Re?"

One ShotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang