Kuliah. Denji mau kuliah juga. Dengan uang bayaran di muka dari Yoshida, dia pasti bisa mendaftar untuk jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan masih cukup untuk kebutuhan sehari-hari juga ongkos naik kendaraan umum. Tapi, Denji juga belum genap sebulan jadi koki pribadi Yoshida, tidak sopan untuk datang tiba-tiba dan minta izin untuk mengikuti kuliah saat baru kerja. Tidak mungkin juga Denji bertingkah seperti itu. Pastinya dia harus bersabar selama beberapa bulan lagi, baru mencoba izin.
Pekerjaan Denji bukan pekerjaan yang sulit dia lakukan disini. Jauh dari kata sibuk dan lelah dibawah tuntutan alias amat sangat ringan. Dia urung untuk mengeluh macam-macam meski tingkah aneh cowok bertindik delapan itu makin hari makin jadi. Tapi perlahan Denji terbiasa pada semua perlakuan Yoshida. Ciuman-ciuman kecil sebelum dia berangkat kuliah atau kerja. Ciuman sebelum tidur atau ciuman lain yang mereka lakukan saat rumah sepi. Cuma itu saja, kok.
Pria itu kadang bertingkah agak menakutkan. Ketika dia terbangun karena ketiduran terlalu lama di sofa, tahu-tahu Yoshida sudah ada di sebelahnya. Matanya terpaku pada Denji. Tapi, meski sudah malam dan cahaya lampu sengaja dalam keadaan redup, dia tidak takut. Pupil Yoshida seperti kaca dan bersinar saat melihatnya, segaris senyum itu ada di bibir. Jarang sekali mata itu terlihat cantik, jadi Denji pun diam sambil memandang Yoshida. Dengan tangan yang menumpu kepala dan rambut setengah rapi juga dua kancing atas kemeja yang terbuka, membuat jantungnya berdegup.
Waktu itu Denji tidak teriak, bahkan dia berpikir jika Yoshida ingin jatah ciuman.
"Yosh?" Denji memanggil.
"Hmm? Denji kalau masih ngantuk tidur aja. Nanti aku bawa ke kamar. Tapi sekarang aku pengen liatin kamu dulu, imut banget waktu tidur." Dia bicara lebih panjang dari biasanya. Hatinya juga berdegup keras.
"Kenapa pulang lama?"
"Ada beberapa hal yang harus aku urus, terus lanjut cari uang buat cowok gantengku ini."
Denji harap ini mimpi, habis itu dia ingin melihat Yoshida menembakan uang dari jarinya. Pasti seru, ya!
Lalu, suatu ketika dia sibuk masak makan malam. Yoshida pulang lebih cepat dari biasanya, dia tidak langsung mandi dan malah duduk. Meja makan masih kosong dan di counter Denji sibuk menggeprek bawang putih. Jantung Denji juga berdetak lebih kencang dari biasanya. Niat hatu malam ini ingin buat ramen. Persis ramen yang terakhir kali dia masak di restoran itu. Enak, kok! Pasti bakal lezat! Lidahnya dia gigit dari dalam, berusaha berdamai dengan kejadian pahit dan meyakinkan diri bahwa hal-hal sudah berjalan lebih baik. Lagipula ini di rumah Yoshida dan sekarang si pemilik properti sedang duduk sambil mengawasi seluruh pekerjaannya.
Tepat di pukul tujuh lewat lima menit mereka bertiga berkumpul di dapur. Hangat uap kuah menambah nafsu makan. Seruput nikmat juga tak kalah mengisi waktu makan malam. Uap agak mengepul, keringat mereka berdua menetes. Tapi nafsu makan masih besar dan mulut mereka semangat untuk mengunyah. Habis sudah satu mangkok besar yang disiapkan Denji untuk Yoshida. Panas pipinya tidak terasa. Dia cukup kaget untuk tahu fakta Yoshida bisa makan sangat banyak dan merasa bahagia ketika pria kaya itu menjadikan masakannya sebagai yang paling dia sukai.
.
.
.
.
.
Powie bilang ingin makan camilan manis, apa saja yang bisa Denji buat. Lalu sekarang dia berada di dapur lagi. Mengatur timbangan makanan yang dimiliki Yoshida serta segala macam bahan baku dia keluarkan. Baru-baru ini dia bisa aktif lagi menggunakan handphone. Sebelumnya, Denji selalu mikir dua kali kalau mau pakai kuotanya untuk buka aplikasi ini itu. Jadi sekarang dia sudah lebih baik, Denji berhasil belajar resep masakan baru.
Yoshida yang sedari tadi berkutat dengan tugas di ruang tamu mengalihkan pandangannya. Denji sedang mencampur tepung almond dan gula tepung, lalu dia masukkan ke dalam food processor. Kemudian Denji ayak sebelum di tuang ke mangkok. Satu kali lagi dia lakukan. Dan lagi, Denji mengayak tepung itu. Bingung, Yoshida jadi ingin ikut berkecimpung di dapur bersama Cowoknya. "Bikin apa, Ji?"
"Cemilan."
"Aku bantu ya."
Kerutan diantara dahi Denji terbentuk, dia sangsi Yoshida bisa masak. Sebenarnya memang tidak mungkin bisa masak. Apalagi Macaron adalah menu yang mempersulit hidup para Patissier dan segala macam jajarannya. Sayang uang untuk membeli bahan baru, Denji juga tidak mau usahanya gagal setelah melewati proses panjang yang sulit membuat camilan kecil ini. "Mending nggak usah deh, Yosh." Akhirnya dia menolak. "Lo duduk manis aja sambil ngerjain tugas, nanti kalo udah selesai gue bakal anter ke samping lo."
"Manisnya calon Suamiku ini." Decakan terdengar dari Denji, dia masih sibuk memperhatikan mesin pengocok dan menambahkan gula sedikit demi sedikit ke dalam. Sudah tidak punya waktu bertukar omongan kasar pada Yoshida.
Melihat itu, Yoshida melanjutkan lagi. "Marah aja bikin horny, loh! Cowokku yang paling lucu sedunia. Aku jadi pengen bilang terima kasih ke orang tua kamu..."
"Yoshida."
Anjing.
Yoshida lo anjing.
Dia mengumpat. Menggonggong tanpa henti dan menyakiti hati orang yang dia dambakan. Berita tragedi taman hiburan sepuluh tahun yang lalu otomatis terputar di benak Yoshida. Dalam diam Yoshida nurut dan kembali pada pekerjaan rumahnya. Jarinya memang sibuk menekan tombol alphabet, tapi isi otaknya bagai terbelah dua. Bagaimana perasaan Denji? Dia sudah mengungkit hal ini terlalu cepat. Lagipula hubungan Yoshida dan Denji sudah seberapa jauh sampai dia bisa seenaknya bawa-bawa orang tua?
Denji mulai menuangkan adonan meringue yang sudah dicampur sampai kalis kembali dengan tepung almond tadi ke dalam piping bag lalu mulai menekan bagian atasnya. Adonan itu keluar dan terlihat lucu ketika diberikan putaran terakhir sebelum dia lepas. Seluruh loyang dia penuhi lagi dan belum menuju ke loyang berikutnya. Denji masih agak takut karena ini pertama kalinya dia membuat, dia tidak langsung beralih ke wadah selanjutnya untuk diisi, tapi dia mengeluarkan sisa gelembung udara dengan tusuk gigi dan mengetuk loyang itu ke counter cukup keras agar udara pada adonan Macaronnya benar-benar keluar. Setelah beberapa menit yang lama, adonan di loyang sudah terlihat cantik bagian atasnya. Denji bisa menyentuh itu tanpa meninggalkan jejak di jari. Kemudian dia masukkan ke dalam oven dan mulai membuat isian.
Apartemen Yoshida jadi wangi dan terasa manis. Ada kue bulat-bulat di loyang yang baru dikeluarkan Denji dari oven. Warnanya soft dan terlihat menggembung dengan pas. Wajah Denji di sana juga bahagia, lalu dia memberikan krim di bawah kue itu dan menutupnya kembali dengan lapisan yang lain. Imut. Tapi Yoshida berencana untuk tidak peduli. Dia harus menahan diri. Kalau dia masih keras kepala dan maksa untuk tetap bersentuhan dengan pria itu, amarah Denji akan tumbuh lebih besar lalu meninggalkannya sendirian tanpa pernah bicara. Meski uang diatas segalanya bagi Denji, pria yang dia dambakan itu masih cukup berani untuk pergi, terlebih lagi Yoshida belum berhasil memenangkan hatinya.
Dentangan telepon berisik. Malas untuk Yoshida angkat, berisik jika tidak diangkat. Yoshida dilema. Tapi menikmati perasaan campur aduk itu. Telinganya pura-pura tuli pada suara notifikasi. Ketika tidak berhenti juga, dialihkannya fokus mata dari lembaran buku ke layar ponsel. Siapa tahu ini urgent atau nomor orang yang punya urusan padanya. Namun, nama Quanxi yang tertera disana. Pikiran Yoshida bercabang; Apa laporan tentang hal tidak berguna lagi? Atau masalah itu mulai selesai?
"Yoshi, cobain, udah selesai gue buat."
…ᘛ⁐̤ᕐᐷ
tbc
Meski sudah tamat tetep vote dan komen ya kawan ꒰⑅ᵕ༚ᵕ꒱˖♡
KAMU SEDANG MEMBACA
Sugar Kisses
FanfictionDenji dipecat. Tidak bisa pulang ke rumah dengan kendaraan umum akibat harus menghemat uang gaji terakhirnya, jadi dia hanya bisa berjalan. Lewat di tempat ramai akan penduduk, Denji malah punya niat untuk ikut masuk ke dalam mall. Disana pun Denji...