Sebelum berangkat kuliah siang ini, Yoshida berpesan pada Denji untuk tidak perlu repot-repot memasak makan malam. Dia akan pulang pukul empat nanti, lalu berniat membawa mereka makan di luar. Denji senang bukan main, siapa yang tidak ingin keluar dan jalan bersama kekasih?
Langkah kakinya bahagia dan membuka pintu kamar Power tanpa izin. "Powieee!!" Suara Denji mendayung lucu. Adiknya yang sibuk berkutat dengan ponsel kesal tapi juga penasaran. "Jangan buka pintu sembarangan, dong, Kak!" Amarahnya dia keluarkan sedikit, kemudian dia bertanya. "Kenapa, sih? Seneng banget?"
"Tebak?"
"Kak Yoshida pasti."
"Seratus!"
Denji duduk di atas tempat tidur bersama Power. "Hari ini kita bakal makan malam di luar. Gue penasaran dia bakal bawa kita makan dimana."
"Seru banget! Aku mau ke ke tempat mewah terus nyoba wine!!"
"Huss! Mana boleh."
"Pelitnya." Power menghela nafas. "Tapi Kak, kayaknya aku nggak bisa ikut."
"Kenapa?"
"Besok ada presentasi, jadi aku mau pelajari materinya."
"Ew, tugas sekolah."
"Jangan kayak orang nggak pernah sekolah gitu, dong."
.
.
.
.
.
Dan berakhirlah Denji di salah satu restoran seafood pinggir pantai berdua dengan Yoshida. Hanya mengenakan kaos dan jaket terbaiknya, Denji masih kedinginan. Yoshida sendiri berpakaian kasual mengikuti style Denji.
Angin dari pantai berhembus cukup kencang. Meski begitu, pemandangannya sangat bagus. Dalam hatinya dia berteriak cukup heboh. Denji ingin mengabadikan momen, ingin memotret pemandangan dan juga mau punya banyak foto dengan Yoshida. Pemandangan tadi sore cukup bagus dan malam harinya langit pun cerah. Beberapa awan lewat pelan-pelan, namun bintang dan bulan masih terlihat cantik disana. Sekali lagi kamera ponselnya berbunyi.
Acara makan malam mereka menyenangkan. Obrolan ringan tentang rasa sajian dan beberapa lelucon yang saling mereka tukar menjadi pelengkap terbaik. Denji makin tertarik dengan Yoshida. Di satu waktu ini, dia benar-benar teringat tentang masalah jiwa yang disinggung Ayah Yoshida empat hari yang lalu. "Yosh, kamu beneran pernah ke psikolog, ya?"
"Sayang, jangan dengerin omongan pak tua itu."
"Jadi itu nggak bener?"
"Iya."
"Cerita sebenarnya gimana?"
Yoshida meneguk ludahnya. "Aku memang suka kamu sejak kelas satu. Hahahahahahaha, waktu itu aku ngerasa malu. Ah! Sebenarnya itu salah otakku, sih! Makanya tiap mulai deket kamu aku muter balik, nggak kuat! Nggak kuat!"
"Oh, ternyata memang harusnya dibawa ke psikolog." Tak perlu dijelaskan. Sudah berhenti di situ saja. Denji cukup tahu alasan apa yang menjadikan Yoshida kala itu frustasi dan sangat gugup.
Ada hening yang cukup panjang di antara mereka, tapi itu bukan lagi masalah. Dua-duanya menikmati jeda waktu untuk saling diam. Kesendirian itu harus tetap dihargai meski dalam waktu yang singkat. Tak ada rasa canggung atau jaim, pria berambut pirang kembali sibuk melanjutkan makannya yang tadi berhenti sejenak. Sejak awal dia memang sudah menunjukkan sifat terburuk, jadi sekarang tidak perlu malu-malu. Malah, binar mata itu sangat menghibur hati Yoshida.
"Denji suka?" Sekarang di hadapannya Yoshida tersenyum lembut. Rambut pria itu agak berantakan akibat ulah angin, tapi itu membuatnya jadi seksi. Denji tidak punya niat untuk merapikan rambut Sang Kekasih.
"Iya, suka banget, Yosh! Kamu suka juga?"
"Suka. Aku suka bareng Denji."
Tawa renyah Denji keluar. Ah, gombalan receh ini lagi. Tapi hatinya masih suka berantakan dan merasa disayangi disaat yang bersamaan kala mendengar. Denji juga akan berusaha membuat Yoshida merasakan hal yang sama dan nyaman dengannya. "Makasih, Yosh, udah bawa aku makan disini."
"Anything for you, babe."
Kemudian Yoshida memanggilnya lagi. "Denji." Entah kenapa nadanya lebih serius dari yang biasa. Pria itu belum melanjutkan ucapan, namun ada kotak merah bludru yang terbuka diantara kedua tangannya. Di dalam sana ada sebuah cincin dengan permata yang sama tingginya dengan permukaan cincin tersebut. Desain itu terlihat minimalis dan kokoh. Cocok untuk kepribadian Denji yang sudah terbentuk selama ini.
"Will you be my fiancé?"
Ini mungkin terlihat lebay, alay dan juga lemah. Namun, Denji bahkan tidak bisa membendung isi perasaannya. Rasanya akan meledak, bagaimana cara untuk bersabar? Otak Denji sudah menyerah. Dia gigit lidahnya untuk menahan tangis. Mulut Denji tidak bersuara, kalau pun terbuka, mungkin dia akan teriak nanti. Tangan kiri Denji terulur menuju Yoshida. Cukup dengan tatapan mata, maka pria itu sudah paham.
Logam mulia itu sudah tersemat cantik di jari manis Denji. Dia mencium benda itu dengan penuh kasih.
"Cium aku aja, Ji." Ini Yoshida Hirofumi, seorang pria yang mengagumi Denji sejak sekolah menengah dan hampir nyerempet jadi penguntit yang melakukan tindakan melanggar privasi orang lain. Hampir menyerah dan mulai berserah diri, tapi takdir membawanya menuju orang yang dia dambakan di suatu malam. Berawal dari ciuman-ciuman kecil yang manis sampai akhirnya dia akan hidup dalam hal-hal manis itu.
Denji sudah benar-benar jatuh hati dengan keras padanya. Di tempat itu, orang-orang tidak peduli dan hanya menatap bagian dari keluarga mereka. Semua suara seolah teredam. Dua insan itu tenggelam dalam ciuman. Hanya langit dan laut yang tahu seberapa dalam mereka saling bertukar kasih sayang.
…ᘛ⁐̤ᕐᐷ♡
End.
Beneran tamat, ya. Sekali lagi, terima kasih sudah mau membaca!💅🏼💗
KAMU SEDANG MEMBACA
Sugar Kisses
FanfictionDenji dipecat. Tidak bisa pulang ke rumah dengan kendaraan umum akibat harus menghemat uang gaji terakhirnya, jadi dia hanya bisa berjalan. Lewat di tempat ramai akan penduduk, Denji malah punya niat untuk ikut masuk ke dalam mall. Disana pun Denji...