Wulan tidak jadi ke perpustakaan. Dia memaksa kakinya menaiki tangga menuju atap gedung. Seingatnya jarang ada mahasiswa yang berminat mendatangi tempat tersebut.
Wulan butuh sendirian sekarang. Pembicaraan bersama Sarah beberapa saat lalu membuat perasaan dan pikirannya tidak nyaman.
Sebulan lalu ketika mengucapkan keinginannya, Wulan benar-benar hanya bercanda. Dia sudah tahu hasil akhinya akan seperti apa kalau memang Sarah serius dengan rencananya menjadi comblang.
Wulan tidak serius menyukai Naren secara mendalam. Namun, berinteraksi dekat dengan Naren sebulan ini memang berhasil menghadirkan sedikit harapan di diri Wulan. Sedikit, tapi ternyata cukup untuk membuatnya merasa tidak nyaman sejak melihat adegan ciuman tadi malam.
Kejadian yang terus terulang. Wulan harus kembali mendapati dirinya yang tidak diharapkan. Fakta yang membuatnya merasakan kesedihan.
Wulan tidak kecewa pada Naren ataupun Sarah. Tidak pula menyalahkan mereka.
Dia hanya miris dengan takdir hidupnya. Bukan bermaksud tidak mensyukuri apa yang sudah dia jalani sekarang. Namun, Wulan hanya manusia biasa. Di saat seperti ini, dia menjadi agak rapuh. Mempertanyakan banyak hal di masa depan. Menuntut banyak tanya atas apa yang terus menimpanya.
Rasanya, sudah lama Wulan tidak menangis. Sejak ibunya meninggal, Wulan bertekad untuk menjadi sosok yang tegar dan tidak terlalu menggantungkan diri pada orang lain. Dia menahan banyak hal demi bisa menjadi kuat.
Namun, sekarang dia merasa begitu lelah dan lemah.
Tiba-tiba, dia sangat merindukan ibunya. Sosok yang selalu mampu menenangkan dirinya bahkan tanpa banyak berkata. Orang yang mau menerimanya tanpa banyak keluhan.
Tanpa bisa dia kendalikan lagi, Wulan menangis.
Dia ingin ibunya. Dia rindu pelukan wanita itu.
***
Beberapa Waktu Kemudian
Wulan bingung, tapi lebih dominan merasa takut.
Dia sudah berusaha keras menolak tawaran Abel. Namun, tetap kalah saat cowok itu tidak menghiraukan penolakannya.
Abel bahkan langsung menggendong Wulan sebagai bukti nyata ancamannya pada gadis itu kalau masih tidak mau diantar pulang olehnya.
Wulan menahan kesal dan malu. Sangat terpaksa dia mengikuti kemauan cowok itu yang bersikeras ingin mengantarnya.
Sebagi ganti gendongan, Abel dengan tidak tahu malu memaksa menggenggam pergelangan tangan Wulan seperti sedang menggandeng anak kecil.
Abel yang aneh, tidak ramah, dan pemaksa membuat Wulan agak gemetaran karena merasa takut. Rencananya, dia menunggu bertemu banyak orang dulu agar bisa meminta tolong.
Baru saja keduanya sampai di anak tangga terbawah di lantai dua gedung, penampakan Sarah dan Randi yang berjalan ke arah mereka membuat Wulan langsung merasa lega luar biasa.
Sarah meneliti keadaan Wulan dengan raut khawatir, lalu berganti kaget dan geram saat mendapati ekspresi ketakutan Wulan serta gestur pemaksaan Abel atas gadis itu.
Sedangkan Randi, menggelengkan kepala seraya menatap Abel dengan tatapan yang menyayangkan tindakan temannya itu.
"Wulan kenapa? Lo apain dia, Bel?!" cerna Sarah, langsung menarik tangan Wulan dari genggaman Abel.
"Jangan playing victim. Lo yang bikin dia begini," dakwa Abel, membalas Sarah dengan sama-sama menajamkan tatapan.
Sarah langsung bungkam. Rasa bersalah kembali menghantamnya. Wulan sepertinya habis menangis juga. Tentu saja karena dirinya. Bisa-bisanya tadi dia malah menuduh Abel.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita Mereka
RandomKumpulan cerita pendek. Cerita fiksi. Semoga terhibur. "Abel itu kayak serigala. Wulan anak domba. Gila kali ngebiarin mereka sama-sama."