Still

2.1K 305 15
                                    

"Kita putus aja."

Jani memilih memalingkan wajah saat mengatakan hal tersebut. Menolak menatap cowok di depannya.

"Kenapa?"

Jani mendengkus pelan. Dia terlalu memasang ekspektasi tinggi dengan mengharapkan respons kaget ataupun protes dari sang pacar. Padahal permintaannya barusan sengaja diucapkan secara tiba-tiba.

Seperti biasanya, Aris hanya mengeluarkan suara datar tanpa gejolak. Seakan memang tidak menganggap serius apa pun yang diungkapkan Jani.

"Aku mau putus."

Respons datar Aris membuat Jani malas membeberkan detail alasannya. Baginya, sia-sia. Dia hanya perlu menguatkan hati dan bersikap keras kepala kali ini karena sepertinya Aris juga tidak akan mempersulit.

Tidak ada lagi tanggapan atau tindakan dari Aris. Keduanya hanya menghabiskan sisa waktu dengan saling diam. Sementara Aris terus memperhatikan Jani, gadis itu malah sengaja tidak mau membalas.

Minggu depan mereka akan mulai memasuki dunia perkuliahan. Berpencar dengan kegiatan baru di universitas pilihan masing-masing. Masih satu kota. Tidak ada drama LDR. Harusnya tidak akan muncul banyak kendala ketika keduanya tetap berpacaran.

Namun, tentu bukan karena perkara pilihan universitas yang berbeda hingga membuat Jani memilih untuk mengakhiri hubungan dengan Aris.

Bagi Jani yang masih dalam fase remaja akhir, banyak hal rumit dalam hubungannya bersama Aris. Perkara yang mungkin tidak pernah dianggap penting atau bahkan tidak pernah disadari oleh cowok itu.

Jani tidak ingin menjadi orang yang selalu memahami Aris. Kali ini, cowok itu harus sadar sendiri dan tidak sibuk dengan sudut pandangnya sendiri.

Itu pun kalau Aris peka untuk menyadarinya. Sesungguhnya, Jani sudah berada pada titik tidak ingin lagi berharap terlalu tinggi.

"Yakin?" Aris bertanya singkat, seperti biasa.

Mata cowok itu memang tidak putus menatap wajah Jani, tapi terlihat tidak mempersalahkan saat Jani tidak juga mau balik menatapnya.

"Kita jalan sendiri-sendiri aja, ya," sahut Jani, tidak menanggapi pertanyaan Aris sebelumnya.

Langkah terakhir, Jani memutuskan menatap mata Aris yang tanpa ekspresi. Dia harus menunggu beberapa waktu lagi sampai akhirnya mendapati Aris membuang napas panjang. Tanda kalau permintaannya akan dikabulkan.

"Oke."

Jani bertahan dalam diam. Membiarkan Aris lebih dulu beranjak dari kursi yang tadi didudukinya. Cowok itu mendekat, mengelus puncak kepala Jani sejenak.

"Jaga diri baik-baik," ujar Aris, sebelum berlalu dari sana.

Aroma parfum milik Aris masih sempat bertahan di penciuman Jani hingga beberapa waktu setelahnya. Dia masih sempat menikmatinya untuk terakhir kali.

Dalam kesendirian, Jani menatap nanar minuman miliknya di atas meja.

Jani tidak menyesali keputusannya. Dia juga tidak merasa bersalah. Namun, lagi-lagi dia harus mendapati ketidakadilan dari sikap Aris yang terulang kepadanya.

Meski tidak lagi berharap banyak, tetap saja terasa mengecewakan ketika mendapati Aris dengan gampang mengiakan permintaan putus darinya. Sedikit paksaan saja tidak dilakukan cowok itu untuk mempertahankan dirinya.

Seperti yang tertampak di mata Jani selama ini, bagi Aris mungkin hubungan mereka yang hampir dua tahun tidaklah penting.

Jani tersenyum kecut. Dia tidak akan menangis. Tidak juga ingin merengek seperti yang sudah-sudah.

Cerita MerekaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang