II. I Get to Love You

9.7K 909 68
                                    

Hari itu, saat di mana Selene mendapati surat yang membawa kabar kematian Lucius, ia pikir dirinya akan tiada saat itu juga. Namun, menggenggam tangan laki-laki yang kini terasa hangat itu menyadarkan sang lady bahwa sampai sekarang, Lucius masih bernapas di sisinya dengan bebas.

"Luke, berhenti menangis." Selene tertawa lirih. Ia sesekali menggigit bibir guna menutupi ringisan tatkala seorang pelayan membasuh luka di bahunya menggunakan kain basah. "Maaf, aku kurang berhati-hati hingga membuat kudamu terjatuh."

"Demi Dewi Nyx, Selene!" Raut Lucius terlihat frustasi. Ia membuang napas sebelum bergerak merangkum wajah istrinya menggunakan dua tangan. "Aku tidak mengizinkanmu menaiki kuda lagi. Tidak sebelum luka yang ada di tubuhmu sembuh," ujar sang Panglima tegas.

"Ini luka kecil!" Selene melayangkan protes. Namun, begitu mendapati suaminya itu melirik tajam, ia langsung menunduk pasrah. "Sampai aku sembuh?"

"Ya, sampai kau sembuh." Lucius membuat keputusan final. Laki-laki itu tahu, ia tidak memiliki kekuasaan untuk melarang Selene lebih banyak dari yang ia lakukan sekarang. Lucius tidak berhak mengatur kehidupan wanita yang sudah menjadi istrinya itu. Meski jauh di dalam hati, ia ingin meminta Selene untuk tetap duduk diam dan tidak melakukan apa pun, termasuk berdekatan dengan semua hal yang bisa membuatnya terluka. "Tapi sebelum lukamu mengering, aku tidak ingin melihatmu berada di luar mansion," imbuh Lucius sembari kembali menggenggam jemari Selene lembut.

Ruangan dengan nuansa abu-abu yang berfungsi sebagai balai pengobatan itu berganti senyap. Hanya terdengar sedikit suara yang berasal dari gesekan kain perban yang dililit ke lengan sampai bahu atas Selene serta decakan kasar Lucius setiap para pelayan melakukan kesalahan. Sementara itu, tabib tua yang ditugaskan untuk memeriksa kondisi sang Grand Duchess justru tengah mengernyit. Ia berulang kali menatap ke arah Lucius dan Selene bergantian, tampak kebingungan sekaligus penasaran.

"My Lady, apa siklus menstruasi Anda berjalan lancar selama beberapa bulan terakhir?" Suara sang Tabib memecah hening. Ia akhirnya membuka suara guna membuktikan dugaannya.

"Aku tidak ingat," jawab Selene asal. Wanita itu memandang wajah Tabib keluarga Lucius dengan ekspresi yang menegaskan ketidaktahuan. "Luke, kau ingat kapan terakhir aku menstruasi?" Tanyanya dengan niat bercanda.

"Dua bulan yang lalu." Lucius menjawab sembari memalingkan muka. Demi Sang Dewi, bagaimana Selene bisa melupakan hal sepenting itu dengan mudah? Dan mengapa harus ia yang mengingat tentang itu sendirian?

"Mengapa kau bisa ingat?!" Selene memekik kaget hingga membuat para pelayan tersentak.

Lucius menutup matanya rapat. Ia terlalu malu. "Karena aku ingat!"

Perdebatan antara kedua bangsawan yang kini berbagi nama belakang itu hampir mengundang gelak tawa. Namun, wajah serius yang ditampilkan Tabib telah menyita perhatian Lucius lebih dulu. Laki-laki itu menegakkan posisi duduknya dengan tangan yang semakin erat menggenggam jaemari Selene. "Istriku baik-baik saja, bukan?"

"Grand Duchess baik-baik saja, Yang Mulia. Luka di bahunya kemungkinan akan sembuh total selama 2 minggu ke depan. Tapi, saya rasa Her Grace tidak lagi bisa berkuda atau melakukan aktivitas berat selama beberapa bulan ke depan," jawab sang Tabib mencoba menerangkan. Ia tersenyum lebar, membuat sebuah pertanyaan besar timbul di benak Lucius yang mulai tidak sabar.

"Apa maksudmu?"

"Yang Mulia, selamat. Semoga berkah Dewi Nyx selalu melindungi Her Grace dan calon anak Anda." Laki-laki tua yang sudah melayani keluarga Kaltain selama puluhan tahun itu membungkukkan badan yang segera diikuti seluruh pelayan yang berada di dalam ruangan. Ruangan itu riuh, tetapi baik Lucius atau Selene justru tidak bersuara sama sekali.

I Refuse to Die [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang