"Sumpah ya, gue makin benci sama lo, Yo," Ian meletakkan tasnya di kursi dengan malas saat melihat sosok Theo yang melambaikan tangannya dengan penuh semangat ke arahnya.
"Pagi, temennya Mora!" sapanya, tak gentar sama sekali atas kalimat Ian. Kalau saja ini bukan di kantor, mungkin Theo sudah Ian jitak berkali-kali.
Ian tidak ingat ini minggu keberapa Theo dan Ella resmi berpacaran. Sejak mereka tertawa bersama membawa nampan berisi ayam, kentang goreng, dan soda di Timezone waktu itu, Theo dan Ella seperti tidak ingin membuang waktu dan langsung memutuskan pacaran beberapa hari setelahnya. Gila. Dua orang gila. Theo bukan playboy, tapi dia juga tidak minim pengalaman. Ian tidak tau persis bagaimana sejarah pengalaman kencan Theo, tapi jika diingat dari ceritanya, Theo adalah tipe yang cukup hati-hati dalam memilih pasangan. Ella juga, seperti hilang semua kriteria bibit-bebet-bobot yang dulu ia agungkan setiap ada lelaki yang disodorkan orang tuanya. Kedua orang ini rasanya tidak peduli apa yang dikatakan dunia, yang penting mereka maju bersama.
Ian menyalakan layar komputer di mejanya, membiarkan saja Theo memasang cengiran tanpa dosa, menanti reaksi darinya.
Theo ini usil luar biasa di hari-hari normal sejak Ian mengenalnya saat masa orientasi kantor. Theo yang sedang overdosis bahagia? Usilnya seperti langsung melambung ke langit ketujuh. Ian hanya bisa berusaha untuk menambah porsi kesabarannya.
"Kok cemberut gitu mukanya? Bini lo nggak kasih jatah?"
Si Bangsat.
Gara-gara Theo, kini seisi kantor melabeli Mora dengan sebutan 'Bini Ian'. Meski Mora tidak terlihat keberatan dan hanya mendengus atau memutar bola mata setiap mendengar panggilan itu, Ian kadang tidak enak hati. Dia hanya bisa berharap semoga hubungan mereka sama sekali tidak renggang meski ada panggilan aneh tersebut untuk sahabat sejak kecilnya itu.
"Gue cemberut karena harus ngeliat wajah lo pagi begini setiap hari!"
"Awww. Manis banget!"
Tuh, kan? Orang gila memang Theo ini.
"Orang normal tuh biasanya habis jadian malah makin baik, makin rajin. Lo kok makin ngelunjak, sih?" keluh Ian. Tangannya bergerak membuka file pada komputernya dan menjalankan beberapa aplikasi untuk mulai bekerja. Matanya mengerling sejenak ke arah Theo yang terlihat santai dengan layar serupa di mejanya.
"Normal is overrated. Gue kan extra ordinary."
Sudahlah. Mending Ian lanjutkan saja pekerjaannya sebelum Mora naik ke lantai mereka ini dan mengomel meminta deadline mereka segera diunggah ke cloud kantor.
***
Kalau orang lain berpikir bahwa Theo akan kesulitan beradaptasi dengan Ella setelah mereka jadian, itu adalah asumsi yang salah besar. Karena kenyataannya, Ella sama sekali tidak banyak menuntut seperti yang orang-orang bayangkan. Sampai-sampai Theo sangsi bahwa gadis yang tangannya sedang ia gandeng ini adalah putri bungsu konglomerat negeri ini.
"Liat filmnya dong, kok ngeliatin aku, sih?" bisik Ella, mendekatkan dirinya agar bisa menyampaikan kalimat itu pada Theo tanpa mengganggu pengunjung lain.
Theo tidak terlalu suka menonton bioskop, tapi Ella meminta agenda kencan kali ini mereka mengunjungi bioskop. Theo menurut saja karena Ella berkata bahwa dia tidak pernah nonton ke bioskop dengan pacar, selalu bersama Mora dan Windry. Theo sebenarnya menawari Ella untuk nonton di salah satu bioskop premium, tapi Ella menolak keras. Bersikukuh bahwa dia, Windry, dan Mora sudah sering nonton ke bioskop biasa seperti ini, dan dia tidak keberatan dengan suasananya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Two Peas in A Pod
Romance"We are all a little weird and life's a little weird, and when we find someone whose weirdness is compatible with ours, we join up with them and fall in mutual weirdness and call it love." ― Dr. Seuss ** Arabella Zakeisha tidak pernah membayangkan b...