Chapter 1: First Sight

1.8K 201 35
                                    


Jarang-jarang Ella menyetir mobil sendiri. Kalau bukan karena dia sedang suntuk parah dan hanya ingin dikelilingi sahabat-sahabatnya, mungkin sekarang dia sudah menurut saja saat diajak Mami meninjau salah satu hotel milik keluarga mereka di Bali. Memang, di sana Ella tidak banyak melakukan apa-apa selain jalan-jalan atau sekedar menemani Mami keliling sekitar hotel, tapi Ella juga tau dengan pasti, Mami tidak akan hanya diam saja selama Ella menemani. Mulai dari membicarakan kakak iparnya, Andrea, sampai pada penolakan-penolakan Ella atas perjodohan yang dirancang Maminya. Enough is enough.

Sebenarnya Ella sendiri bukan tidak pernah berpacaran, dia pernah menjalin hubungan dengan cowok-cowok yang menurutnya cukup 'layak' untuk menghabiskan waktu bersama. Layak, karena status sosial mereka setara. Layak, karena mereka mau menerima Ella apa adanya—dengan segala sifat dan cara pandang Ella yang mungkin tidak bisa dimengerti oleh beberapa orang. Layak, karena mereka memperlakukan Ella dengan sopan. Gentleman.

Mungkin lingkungan dia dibesarkan punya andil yang cukup besar, maka dari itu Ella sangat sensitif dengan laki-laki yang tidak punya sopan santun. Status bukan jaminan seseorang akan secara otomatis memilikinya. Betapa banyak laki-laki yang Ella temui di acara pertemuan relasi bisnis keluarga—yang tentu saja sudah jelas tamunya bukan kalangan orang biasa—tapi sayangnya mereka sangat jauh dari didikan tata krama yang tepat. Betapa banyak laki-laki yang ia temui, meski memiliki nama belakang yang mencengangkan, masih saja buang ludah sembarangan. Atau bersikap sinis pada pelayan yang membawakan mereka nampan berisi gelas-gelas martini. Atau seenaknya memperlakukan orang-orang yang status sosialnya ada di bawah mereka dengan ucapan dan sikap yang kurang ajar. Ella sungguh membenci orang-orang seperti ini.

Seminggu yang lalu Mas Arga sempat membocorkan bahwa Paul juga akan datang ke Bali untuk bertemu Papi terkait dengan kerjasama perusahaannya dengan Papi. Ella langsung memasang wajah kecut dan menolak sehalus mungkin ajakan Mami untuk bergabung. Paul yang... ew. Ella pernah melihat lelaki itu dengan mata kepalanya sendiri bagaimana dia melecehkan sekretarisnya secara verbal. Tidak peduli bahwa dia adalah Paul Wirosoenatja, ahli waris tunggal perusahaan kontraktor terkenal negeri ini. Belum lagi matanya yang jelalatan ke sana kemari. Double big ew. Oh, tentu saja Ella tidak sebodoh itu bahwa ajakan Mami bukan tanpa arti. Ella bisa menyusunnya seperti kepingan puzzle dan Ella menolak untuk andil dalam rencana konyol ini.

Makanya, dia lebih memilih bebas menikmati makan malam di luar bersama Mora dan Windry. Pak Iwan menawarkan untuk mengantar, tapi Ella menolak. Merasa bahwa dia tidak akan bisa bebas membicarakan Mami dan Papinya jika ada Pak Iwan yang mendengarkan.

"Gue turun, sabar!" Mora mengeluh dari ujung teleponnya, tanpa aba-aba maupun salam. Ella tertawa, merasa berhasil mengganggu Mora dengan meneleponnya sebanyak dua belas kali sebelum akhirnya Mora mengangkatnya.

"Gue udah di depan, tapi males turun. Gue tunggu di mobil, ya," ujar Ella, riang. Mora menggerutu, mengiyakan, lalu menutup telepon. Ella menyeringai senang.

Ia mengetukkan jemarinya di setir mobil, mengikuti irama lagu yang mengalun dari music playernya dengan gumaman. Ia kembali memeriksa ponselnya, berniat mengganggu Mora sekali lagi. Ia urungkan dan memilih untuk memeriksa jadwal dan chatroom penghuni Art Gallery miliknya. Hanya obrolan ringan dan reminder bahwa beberapa lukisan baru akan datang dua minggu lagi.

Konsentrasi Ella pecah ketika ia mendengar suara gaduh di luar sana. Mora, Windry, Ian, dan seorang laki-laki baru saja keluar dari kantor. Mora tertawa, Windry menggeleng-gelengkan kepala, sementara Ian berusaha keras melepaskan rangkulan tangan laki-laki itu dari lengannya.

Ella adalah seorang yang pemilih. Ella lebih sering mendahulukan logika dan penilaiannya sebelum memberikan perhatian dan keputusan akhir. Ella bukan wanita romantis yang manis dan manja. Ella tidak pernah yakin akan adanya cinta pada pandangan pertama.

Two Peas in A PodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang