cw // slight mention of religion
tags: slight angst, fast paced
Asing.
Kalau Barra punya nama tengah, sepertinya kata itu sangat cocok untuk menggambarkan dirinya. Kemanapun ia melangkahkan kakinya, kemanapun ia singgah, cap itu akan selalu melekat untuknya.
Dulu, ketika dia tinggal di panti asuhan, ada satu wejangan Bapak—Pak Hendrik, nama pemilik dan pengasuh panti asuhan itu—yang selalu dipegang olehnya. Ridho pada takdir. Mengingat ada begitu banyak jiwa-jiwa yang ditelantarkan di rumah itu, dengan kemampuan Bapak yang terbatas, beliau akan sangat kesulitan mengontrol semua anak secara bersamaan. Maka dari itu, beliau sangat gigih menanamkan pentingnya iman dalam diri anak-anak di sana. Salah satunya, iman pada takdir. Karena dengan meyakini adanya takdir itulah, mereka semua jadi lebih mudah untuk menerima kenyataan pahit dalam hidup mereka. Lebih mudah menerima keadaan mereka yang spesial dibanding anak-anak lainnya.
Ya. Memangnya ada yang mau ditelantarkan oleh manusia yang seharusnya mencintai mereka tanpa syarat? Memangnya ada yang mau 'dibuang' oleh manusia yang seharusnya menyediakan rasa aman dan nyaman? Memangnya ada yang mau ditinggal oleh mereka yang seharusnya memberikan kehangatan?
Memang tidak semua anak di panti asuhan bernasib seperti Barra yang sengaja ditinggal begitu saja dalam buntalan kain sprei di depan rumah panti. Ada pula yang terpaksa tinggal di situ karena sebatang kara, tidak punya lagi keluarga. Ada pula yang keluarga besarnya lepas tanggung jawab ketika ayah dan ibunya wafat. Namun ada pula yang sengaja menitipkan anak mereka karena tidak ada tempat lagi untuk mereka tinggal, sementara orang tuanya harus bekerja di luar kota—bahkan luar negeri.
Selama Barra tinggal di panti asuhan, dia hampir tidak pernah bersedih. Mungkin kecuali dia harus mengalah untuk mengambil lauk tahu dengan kecap ketika adik-adiknya ingin telur. Mungkin kecuali ketika dia harus belajar, tapi anak lainnya malah berisik sehingga dia tidak bisa berkonsentrasi. Mungkin kecuali dia harus mengalah, merelakan uang donatur untuk sepatu anak lain ketimbang sepatunya sendiri. But most of the time, he liked it there. Meski dengan kamar yang berdesakan, kadang harus ikut menjemur kasur yang kena ompol, meski dengan bunyi nyamuk setiap malam, lebih banyak berpuasa ketimbang makan, Barra genuinely liked it there.
"Barra nggak suka?" suara Papa membuyarkan lamunan Barra, membuat bocah cilik itu mendongak dan menatap wajah cemas orang dewasa yang beberapa bulan ini ia panggil dengan sebutan 'Papa'.
Di depan mereka, terhampar beberapa menu makanan. Ada sup sayur, ayam kukus jahe, orek tempe, dan sambal. Menu itu adalah menu untuk Barra. Sementara untuk dua orang dewasa lainnya, tersedia olahan jamur, ikan salmon dan kacang, semangkuk salad, dan mie pasta—yang Barra tidak tahu apa nama masing-masing makanan itu. Di meja makan ini hanya ada tiga orang. Tapi Barra yakin, semua makanan ini sangat cukup untuk mengenyangkan perut tiga belas orang. Barra rasanya ingin menangis—entah harus bersedih atau penuh syukur.
"Suka, Pa," kerongkongan Barra tercekat. Ia melahap sesendok nasi dengan potongan ayam.
Ayam adalah salah satu menu yang sangat langka di rumahnya yang dulu. Tapi di rumah ini, ayam bisa hadir dalam menu makan paginya, siangnya, dan malamnya. Bahkan Barra bisa menikmatinya sebagai cemilan di sore hari.
Dulu Barra berpikir bahwa dia tidak akan pernah bosan makan ayam. Tapi kenapa sekarang setiap makan ayam, perutnya terasa perih dan lidahnya pahit?
"Kok makannya dikit, Nak?" tanya Papa lagi. Menatap porsi makanan di piring Barra dan wajah bocah itu bergantian. "Kalau nggak suka, bilang aja. Nanti Papa minta ganti menunya. Barra pengen apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Two Peas in A Pod
Romance"We are all a little weird and life's a little weird, and when we find someone whose weirdness is compatible with ours, we join up with them and fall in mutual weirdness and call it love." ― Dr. Seuss ** Arabella Zakeisha tidak pernah membayangkan b...