BUKAN SALAH RESTU
Harusnya restu ibu itu, menjadi restu ilahi, bukan? Tapi ini tidak berlaku bagiku.
Usiaku baru lewat delapan belas tahun. Ijazah SMA belum lagi genap satu bulan aku raih. Ibu memintaku menikah dengan kenalannya dengan dalih untuk membantu ekonomi keluarga kami.
Ibu bilang laki-laki itu sedang mencari istri. Usianya dua belas tahun lebih tua dariku. Sudah matang untuk menjadi kepala dalam rumah tangga.
Usahanya maju pesat. Punya tiga cabang rumah makan di kota Medan. Di usia tiga puluh, ibunya menuntut agar dia segera memiliki anak, sementara selama ini ibu bilang dia tak punya waktu untuk berpacaran.
Ayahnya sudah tiada. Ibunya sakit-sakitan, dan dia anak tunggal. Mau tak mau dia harus mengurus pekerjaan sendirian. Meski ada banyak karyawan, tak mungkin dia percaya begitu saja, bukan?
Begitu cerita ibu.
"Tiwi masih mau sekolah, Bu. Tiwi mau jadi perawat." Begitu ucapanku pada ibu.
Sebuah cita-cita saat aku ikut karnaval memperingati 'Brandan Bumi Hangus' di kotaku. Saat itu aku masih SMP, temanku meminjami baju dinas kakak perempuannya agar aku bisa ikut berbaris di jalanan.
Teman-teman sekelas mengatakan kalau busana profesi itu sangat cocok untukku. Membuat aku bercita-cita ingin memakai seragam itu di kemudian hari.
"Bisa lulus SMA dengan dana BOS saja sudah bersyukur, Wi. Jangan ketinggian kalau mimpi. Kamu lihat adik kamu masih ada tiga lagi yang mau Ibu biayai. Kalau kamu menikah, nanti biaya adik-adikmu, Arman yang tanggung. Juga... membelikan ibu dan adik-adikmu rumah agar tidak mengontrak lagi seperti sekarang ini."
Atas dasar restu ibu, aku menikah.
Satu tahun pernikahan semua baik-baik saja. Bang Arman sangat baik. Ibu benar, dia seseorang yang sangat dewasa. Aku belajar banyak dari dia tentang kehidupan.
Cita-citaku sebagai seorang perawat juga dia kabulkan. Hanya saja tugasku harus merawat ibunya seorang.
Mertuaku sakit. Tubuhnya lumpuh setengah akibat stroke. Jangankan berjalan, bicaranya pun tidak jelas. Makan dan mandinya harus aku yang kerjakan.
Tak apa. Asal bang Arman memperlakukan aku dan keluargaku dengan baik, aku akan membalasnya dengan merawat ibunya juga dengan sangat baik.
"Ibu sudah tidur, Dek?" tanya suamiku saat pulang.
"Sudah, Bang. Abang sudah makan?" Aku harus bertanya lebih dulu. Terkadang dia makan di tempatnya membuka usaha.
"Belum. Kamu bilang masak daun ubi tumbuk. Di rumah makan kita tidak ada," sahutnya menggoda, sambil menggawil hidungku.
Aku tertawa kecil. Lalu menyiapkan piring dan lauk di meja makan, sembari menunggu bang Arman selesai mandi.
*
Tahun ke dua pernikahan, bang Arman sudah tak semanis dulu. Dia bilang lelah, karena usahanya semakin maju. Pekerjaannya semakin banyak karena harus bolak-balik revisi menu.
Aku yang tak tahu berbisnis hanya mengangguk saja. Yang penting dia masih pulang ke rumah dan tak berhenti membiayai sekolah adik-adikku.
Ibu mertua juga mulai mengalami kemajuan. Bibirnya yang tadi miring, kini mulai normal kembali. Bicaranya pun sudah dapat aku mengerti. Tak perlu lagi menerka-nerka atau menyebutkan semua keinginan, lalu menunggu dia mengangguk atau menggeleng untuk mendapatkan jawaban.
"Kenapa kamu belum hamil juga, Wi? Kamu minum pil KB, ya?" Mertuaku bertanya.
"Tidak, Bu. Tiwi tidak mengerti dengan obat-obatan seperti itu," sahutku apa adanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BUKAN SALAH RESTU
RomanceHarusnya restu ibu itu menjadi restu ilahi, bukan? Tapi tidak bagiku.