BUKAN SALAH RESTU (2)
Sudah satu minggu aku tinggal di kampung halaman. Kembali hidup bersama ibu dan adik-adikku. Puluhan, atau bahkan ratusan, baik pesan atau panggilan dari bang Arman, aku enggan untuk menjawabnya.
Hanya sesekali terdengar ibu berbisik berbicara dari ponsel android milik adikku. Setelah selesai menerima panggilan, ibu pasti akan langsung memberengut padaku.
"Sok jual mahal kamu! Apa salahnya mengalah. Suami kamu sudah berbaik hati meminta kamu pulang baik-baik. Arman tidak akan mempersoalkan lagi sikap kamu yang kurang ajar dengan meninggalkan rumah begitu saja!" omel ibu.
"Tiwi sudah mantap berpisah, Bu. Tidak akan mau kembali ke sana lagi."
"Egois kamu. Hanya mementingkan diri sendiri. Kalaupun Arman menikah lagi, kamu juga tidak akan dibuat serumah sama istri barunya. Jadi kamu tidak perlu sakit hati."
Ya, Tuhan. Apa benar dia ibuku? Kenapa kata-kata yang keluar dari mulutnya begitu menyakitkan. Sedikit pun dia tidak memikirkan bagaimana sakitnya hati seorang istri yang dikhianati.
"Kamu bisa hidup enak di sana. Mau beli apa-apa tinggal minta. Arman itu orang baik. Buktinya perhiasan-perhiasan yang kamu bawa, tidak dia minta kembali. Bukannya bersyukur, malah memilih menjadi istri durhaka."
"Kalau begitu ibu saja yang tinggal sama bang Arman. Bukannya ibu yang selama ini ingin hidup enak?"
Berapa kali pun ibu berbicara dengan segala bujuk rayunya, tak akan berpengaruh lagi padaku.
"Ibu bilang, asal tidak main tangan, Tiwi tidak boleh meninggalkan bang Arman. Tiwi nurut. Tiwi bertahan. Tapi sekarang? Ibu lihat sendiri kalau bang Arman sudah berani mukul Tiwi. Jadi, Tiwi tidak salah, kan?"
"Ada saja jawaban kamu. Arman sudah bolak-balik meminta maaf dan menyesali perbuatannya. Dia cuma khilaf. Kamu mau, dia sampai mengemis dan sujud-sujud di kaki kamu. Begitu?"
"Tidak perlu. Mau sampai dia nungging-nungging pun Tiwi tidak akan kembali. Asal ibu tahu, bang Arman tidak butuh Tiwi sebagai istri. Tapi sebagai baby sitter untuk mengasuh ibunya!"
*
Aku pergi ke dapur untuk memanaskan air. Sepertinya teh jahe panas bisa sedikit meredakan sakit kepala akibat frustasi tentang rumah tanggaku.
Saat berjalan ke dapur, kulihat adik perempuanku merengut melihatku. Lalu bergegas keluar dari dapur, sengaja menghindariku.
"Tika!" panggilku. Gadis yang baru saja lulus SMA itu mengentikan langkahnya. "Kenapa kamu begitu?"
"Begitu kenapa?" sahutnya ketus.
"Sejak kakak pulang, kamu sama sekali tidak pernah menyapa. Ada masalah apa kamu?"
"Tidak ada!" Dia tetap menjawab dengan ketus.
Padahal selama ini kalau ada apa-apa dia selalu menghubungiku. Apa lagi kalau urusan pembayaran atau kalau ada yang ingin dibelinya.
Aku menjadi satu-satunya perantara bagi keluargaku untuk meminta uang pada bang Arman.
"Bohong. Kamu ikut-ikutan ibu. Marah sama kakak karena masih bersikeras ingin bercerai, bukan?" tudingku.
"Kakak jahat!" Dia benar-benar terlihat kesal.
"Kakak jahat?"
"Kakak tahu tahun ini Tika mau daftar kuliah, kan? Tapi tiba-tiba kakak memutuskan ingin berpisah dari bang Arman. Lalu siapa lagi yang akan membiayai kuliah Tika? Tika juga ingin tinggal Di Medan, Kak. Tinggal di kota besar seperti kakak. Tapi sekarang semuanya hanya mimpi. Kakak sudah menghancurkan semuanya."
KAMU SEDANG MEMBACA
BUKAN SALAH RESTU
RomanceHarusnya restu ibu itu menjadi restu ilahi, bukan? Tapi tidak bagiku.