BUKAN SALAH RESTU (8)
"Iya, Bu. Tiwi sudah bercerai," sahutku pelan.
Saat pertama kali aku meminta pekerjaan pada Nining, gadis berusia sembilan belas tahun itu langsung menghubungi kak Sofi di hadapanku.
Kak Sofi mewawancaraiku langsung hanya dengan mengatakan kalau aku harus merawat seorang ibu yang tidak bisa berjalan. Dengan bangga aku memberitahukannya bahwa aku juga pernah melakukan hal serupa empat tahun lamanya.
Mendengar jam terbangku yang sudah bertaraf S1, kak Sofi merasa senang. Atas rekomendasi Nining yang sudah dia kenal, aku langsung disuruh datang esok harinya. Dia sama sekali tak mempertanyakan status dan juga latar belakang pendidikanku. Sebutuh itu dia dalam mencari perawat untuk melayani ibunya.
"Kenapa kamu dicerai? Pasti suka melawan sama suami? Benar, kan?" Lagi-lagi bu Rasti mengeluarkan kata-kata pedasnya.
"Ibu!" Kak Sofi menegur wanita cerewet itu.
"Umur kamu berapa? Hamil duluan, ya?"
"Ibu!"
"Makanya jadi perempuan itu jangan murahan. Lihat sendiri akibatnya, kan? Habis manis sepah dibuang. Setelah melahirkan, langsung dicerai."
"Ibu!" Suara kak Sofi terdengar lebih keras.
Aku hanya terdiam. Hari ini bu Rasti banyak bertanya. Entah mulai dari mana aku harus menjawabnya.
"Kamu punya anak, Tiwi? Anak kamu sekarang siapa yang mengurus?" Kak Sofi bertanya dengan lembut.
Saat bu Rasti menyebutku janda dengan kasar, tak ada rasa marah dalam hatiku. Tapi saat kak Sofi me nyebut kata anak, tak dapat lagi kutahan rasa sedihku.
"Tiwi tidak punya anak, Kak. Bang Arman menikah lagi karena ingin punya anak dari perempuan lain. Ibunya bang Arman ingin cepat-cepat punya cucu. Sedangkan empat tahun menjadi istri bang Arman, Tiwi sama sekali belum pernah hamil."
Kedua ibu dan anak itu terdiam.
"Empat tahun? Memang usia kamu sekarang berapa?" tanya kak Sofi lagi.
Tanpa bisa kutahan, air mata ini langsung mengalir. Lalu entah kenapa rasanya ingin sekali menumpahkan segala sesak di dada. Aku menceritakan bagaimana awalnya aku bisa menikah, lalu berakhir hingga harus seperti ini.
Aku menangis sesenggukan. Bukan karena agar mereka merasa kasihan. Tapi sudah lama ingin mengeluarkan apa yang selama ini aku pendam. Hal-hal yang tak bisa aku tumpahkan pada ibu dan juga saudara perempuanku. Aku seperti hidup sendiri dengan menanggung semua beban.
"Kamu yang sabar ya, Wi." Kurasakan kini tangan kak Sofi sedang mengusap bahuku dengan lembut.
Dengan masih sesenggukan, aku mengangguk.
"Maafkan Tiwi ya, Kak. Tiwi tidak bermaksud merusak suasana liburan ini karena masalah Tiwi." Aku mengusap air mata dengan kasar.
"Tidak apa-apa, Wi. Kalau ada apa-apa cerita saja. Maaf, ya. Saya juga merasa tidak enak sudah mengungkit masa lalu kamu. Kamu yang sabar, ya?" Ucapan kak Sofi benar-benar membuatku merasa lebih tenang.
Benar, hanya kata-kata itu yang aku butuhkan. Bukan lagi tuduhan-tuduhan kejam seolah-olah semua yang terjadi adalah karena kesalahanku.
Aku melirik ke arah bu Rasti. Menunggu kata-kata sakti terakhir darinya untuk kembali membuatku sakit hati. Setidaknya kalau mau menangis, bisa sekalian.
Anehnya kali ini bu Rasti diam saja. Malah setelah berpapasan mata denganku, dia langsung membuang muka. Aku tak dapat melihat lagi wajahnya yang menyebalkan.
Mungkin dia takut setelah kak Sofi tadi membentaknya.
*
Aku membantu bu Rasti untuk berbaring di tempat tidur. Sepulang dari jalan-jalan tadi, aku langsung memandikannya agar orang tua itu merasa segar.
Sebelum pulang ke rumah, kak Sofi mengajak kami untuk singgah ke KFC, Dio ingin makan malam di tempat itu. Jadi sesampainya di rumah, aku hanya tinggal membersihkan tubuh bu Rasti agar dia bisa tidur dengan nyenyak.
Sepanjang hari, ada yang berbeda dari sikap bu Rasti. Dia tak lagi marah-marah sejak di pondok kolam renang tadi. Lebih banyak diam. Bahkan tak lagi merengek ini itu meminta sesuatu.
Bukannya senang, aku malah jadi ngeri melihatnya.
Jangan-jangan, bu Rasti sedang 'buang tabiat' karena sebentar lagi akan menghadap sang ilahi. Begitu kata orang-orang di kampungku jika ada orang tua yang tiba-tiba berubah sikap dari kebiasaannya semula menjadi kebalikannya.
Semoga saja tidak. Aku tidak mau kehilangan pekerjaan secepat itu.Aamiin.
Susan dan Tari masuk ke kamar pada jam sepuluh malam. Menggunakan kamar mandi secara bergantian, lalu mengganti pakaian.
Sikap keduanya masih sama seperti pagi tadi. Tak terlalu acuh, bahkan terkesan mengabaikanku. Hari ini aku merasa lelah. Tumben sekali mataku terasa berat. Jadi aku memutuskan untuk menutup wajahku dengan selimut sampai mereka tertidur dan mematikan lampu.
Besok baru aku tanyakan kenapa mereka sampai mendiamkanku seperti itu.
*
Aku membawakan potongan buah ke tepi kolam renang. Bu Dena sedang menemani bu Rasti di sana. Setelah menyadari kedatanganku, mereka berdua diam. Seolah-olah pembicaraan yang tadi mereka lakukan tak boleh aku dengar.
Sore harinya, setelah merapikan kamar bu Rasti, aku membawa keranjang pakaian kotornya ke ruang laundry.
"Susan. Kamu kenapa?" tanyaku penasaran.
"Kenapa bagaimana?" gadis bertubuh pendek berisi itu masih bersikap tak acuh sambil menyetrika pakaian. Dia bahkan berbicara tanpa menoleh ke arahku.
"Kamu dan Tari aneh. Tiba-tiba diam dan tak mau lagi bicara padaku. Aku salah apa?"
"Tidak ada. Aku cuma sedang malas bicara. Tidak tahu kalau Tari. Kamu tanya saja sendiri!"
Aku mengembus napas pelan. Lalu meninggalkan Susan dengan segala kemisteriusannya.
Sampai di dapur, bi Rahmi dan Tari sibuk menyiapkan makan malam. Saat aku ingin mendekati Tari, bu Dena memanggilku dari arah belakang. Mau tidak mau aku harus datang dan mengikutinya.
"Kamu sudah resmi bercerai atau hanya sebatas berpisah, Wi?" Bu Dena langsung bertanya tanpa basa-basi.
Aku tidak heran kalau bu Dena sampai tahu. Entah kak Sofi atau bu Rasti, salah satu dari mereka pasti akan memberi tahu semuanya.
"Bang Arman sudah menjatuhkan talak, Bu. Tapi Tiwi belum punya surat cerai," jawabku apa adanya.
"Mantan suami kamu tahu, kamu bekerja di sini?"
Aku menggeleng.
"Sejak bercerai, Tiwi tidak pernah komunikasi lagi dengan bang Arman."
"Saya hanya ingin memastikan. Takut kalau tiba-tiba suami kamu datang, lalu teriak-teriak buat nyuruh kamu pulang. Pak Bara tidak mau ada masalah dengan pekerja di rumah ini. Apa lagi sampai membuat keributan. Karena itu pak Bara meminta saya untuk bertanya dengan tegas. Kamu benar-benar bercerai atau hanya sedang melarikan diri saja. Istilah kasarnya, cari perhatian." Bu Dena berucap dengan tegas.
Rupanya lagi-lagi ini tentang pak Bara. Sampai sedetil itu dia mengurusi orang-orang yang bekerja padanya.
"Bang Arman sudah menikah lagi, Bu. Jadi tidak mungkin mencari Tiwi lagi. Bang Arman sudah lama berhenti mencintai Tiwi." Aku kembali mencurahkan isi hati.
Bu Dena menatapku nanar. Tak lagi bertanya dengan begitu detil. Sedikit banyaknya dia pasti sudah tahu kenapa aku bisa menjadi janda di usia yang terbilang masih sangat muda.
"Saya tidak tahu, siapa yang nasibnya lebih miris di antara kita," ucap bu Dena. "Kamu yang menjadi janda di usia muda, atau saya yang menjadi perawan tua di usia kepala empat."
~~~
KAMU SEDANG MEMBACA
BUKAN SALAH RESTU
RomanceHarusnya restu ibu itu menjadi restu ilahi, bukan? Tapi tidak bagiku.