BUKAN SALAH RESTU (9)
Wajahku terangkat saat mendengar ucapan dari bu Dena. Menatapnya. Tak menyangka kalau wanita paruh baya itu sama sekali belum pernah menikah. Padahal secara fisik dia terlihat menarik. Rambut dan pakaiannya selalu terlihat rapi. Bahkan tubuhnya selalu wangi.
“Kenapa? Kamu terkejut?” Bu Dena tersenyum.
Aku hanya mengerjab. Tak menjawab. Takut kalau-kalau dia merasa tersinggung dengan ekspresiku.
“Usia saya sudah empat puluh lima. Dua kakak perempuan dan dua adik laki-laki saya semuanya sudah menikah. Cuma saya saja yang belum mendapatkan pasangan hingga hari ini. Orang-orang di kampung bilang, pintu jodoh saya sudah tertutup.” Bu Dena memulai ceritanya.
“ Jeruk purut dan kembang tujuh rupa sudah dimandikan ibu buat saya. Tapi setiap kali ada yang ingin melamar, tetap saja berakhir dengan kegagalan. Saya jadi gunjingan para tetangga di kampung halaman. Mereka bilang saya terlalu sombong. Suka pilih-pilih pasangan. Makanya ada yang dengki dan berbuat jahat mendukuni saya. Oleh sebab itu, sejak sepuluh tahun yang lalu, saya pergi merantau ke kota Medan. Saya bahkan tidak ingin pulang.”
Mataku menghangat mendengar cerita bu Dena. Anehnya dia berucap dengan nada datar. Tak ada kesedihan ataupun rasa sesal. Atau aku yang memang terlalu cengeng dalam menghadapi masalah yang dianggap orang lain hanya masalah sepele?
“Kenapa kamu menangis? Kamu kasihan sama saya?” Bu Dena melihat mataku yang mulai berkaca-kaca. Lalu sebentar saja pertahananku jebol. Entah menangis karena apa.
“Siapa yang Ibu salahkan atas nasib yang menimpa Ibu?” Aku bertanya begitu saja.
Bu Dena menggeleng. “ Tidak ada. Ini sudah takdir. Sudah menjadi kehendak dari yang kuasa.”
“Kalau Tiwi menyalahkan ibu kandung Tiwi atas nasib Tiwi yang seperti ini, apa Tiwi sudah termasuk anak durhaka?” Air mataku mengalir kian deras.
Bu Dena terdiam. Lalu kembali menatapku dengan nanar.
“Kamu benci sama ibu kamu?”
Tangisku semakin histeris. Rasa sakit yang aku alami selama ini rasanya ingin kukeluarkan saja semuanya.
“Waktu masih tinggal bersama bang Arman, rasanya Tiwi ingin sering-sering pulang menjenguk ibu. Tapi tidak bisa karena mertua Tiwi tidak mau ditinggal lama-lama. Tapi sekarang, Tiwi memang sengaja ingin menjauhi ibu. Tiwi bahkan tidak ingin bertemu ibu lagi. Tiwi sakit hati. Gara-gara keegoisan ibu, hidup Tiwi jadi seperti ini.” Aku semakin sesenggukan.
Bu Dena kembali menatapku.
“Apa yang kamu sesali? Suami kamu yang menikah lagi, atau hidup kamu yang sekarang berakhir di tempat ini?”
Aku tak dapat menjawab pertanyaan dari bu Dena. Aku bahkan tak tahu apa yang membuat aku bersedih dan menangis seperti ini.
Ibu tak sepenuhnya bersalah. Aku juga pernah menikmati manisnya pernikahan dengan bang Arman meski tak bertahan lama. Aku juga senang melihat ibu dan adikku tak perlu lagi banting tulang ke sana ke mari hanya membayar sewa rumah yang setiap bulan selalu ditagih oleh pemiliknya. Bahkan sekarang aku bisa mendapatkan pekerjaan yang gaji yang begitu besar meski tanpa memakai ijazah SMAku.
“Bagaimana, Tiwi? Hidup yang mana yang kamu sesali?” Bu Dena tampak begitu lugas memberi pertanyaan.
Aku menggeleng. Tak punya jawaban.
“Kamu malu dengan pekerjaan kamu sekarang? Pekerjaan yang bahkan orang tidak pandai baca tulis pun bisa mengerjakannya? Asal kamu tahu, saya ini Sarjana Ekonomi lho. Tapi saya nyaman hanya dengan menjadi kepala pelayan di rumah ini.”
KAMU SEDANG MEMBACA
BUKAN SALAH RESTU
RomanceHarusnya restu ibu itu menjadi restu ilahi, bukan? Tapi tidak bagiku.