Part 5

257 11 1
                                    

BUKAN SALAH RESTU (5)

"Kenapa melihatku seperti itu?" tanyaku penasaran.

"Kenapa berkeliaran tengah malam?" Sopir itu malah balik bertanya.

"Mau makan. Perutku lapar."

"Jam segini? Bukannya tugas kamu yang paling cepat selesai? Apa ada yang melarangmu makan hingga harus mengendap-endap tengah malam seperti ini?" Ucapannya terdengar tidak suka.

Aku terdiam. Sopir itu galak sekali. Aku diperlakukan layaknya pencuri.

"Maaf. Aku ketiduran." Aku berucap pelan.

Sopir galak itu meminum air dari gelasnya. Menyudahi makan, kemudian berlalu pergi meninggalkanku. Ternyata tak semua pekerja bersikap ramah.

Aku salah sangka. Tatapannya tadi bukan karena jatuh hati kepadaku.

*

Kegiatan di rumah ini diawali dari jam enam pagi. Tari paling pertama mandi karena tugas di dapur harus dikerjakan pagi-pagi sekali. Bukan hanya urusan perut majikan, tapi bertanggung jawab dengan semua pekerja di rumah ini. Tanpa terkecuali.

Kemudian disusul oleh Susan.

Kalau dipikir-pikir, kedua orang itu sudah seperti pelayanku saja. Yang satu bertugas memasak, dan yang satunya mencucikan pakaianku. Sedangkan aku tak melakukan apa pun untuk keduanya.

Selesai bersiap-siap, 'nurse call' portableku mulai beraksi. Sebuah benda yang bergetar saat majikanku menekan tombol yang selalu berada di dekatnya, untuk memanggilku.

Aku bergegas keluar, lalu menuju ke kamar bu Rasti.

"Selamat pagi, Bu." Aku tersenyum ramah begitu memasuki kamar super besar itu.

"Jangan banyak basa-basi! Diapers saya sudah penuh ini!"

Senyumku mendadak hilang. Bu Rasti memang secerewet itu rupanya.

Aku mulai melucuti celana dalam dan diapers bu Rasti dari bawah gamisnya. Lalu menarik tangannya agar dia bisa duduk.

Aku mulai membawa bu Rasti ke sisi ranjang. Lalu membantunya menaiki kursi roda. Ini terlalu mudah bagiku. Tubuhnya tak seberat mantan mertuaku yang hampir seluruhnya mati rasa. Tak bisa bergerak sama sekali. Bisa berbicara saja sudah untung.

Bu Rasti berbeda. Wanita tua itu hanya tak bisa menggerakkan tubuh dari pinggang ke bawah. Sedang tangan dan kepalanya masih sangat lincah.

Mulutnya apa lagi.

*

Tugasku selesai memandikan tubuhnya agar wangi. Lalu menemaninya sarapan, kemudian memberikan obat.

Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul sembilan. Wanita itu memintaku mengantarnya ke taman belakang. Ingin berjemur matahari pagi dia bilang.

Aku mengantar piring bekas majikanku ke dapur. Sekalian ingin mendapatkan sarapanku.

Rekan kerjaku yang lain sudah berkumpul di sana rupanya. Makan bersama, layaknya sebuah keluarga.

"Duduk, Tiwi!" perintah bu Dena, melirik kursi di hadapannya.

Aku mengambil piring dan ikut sarapan bersama mereka.

"Tiwi, lain kali jangan terlambat makan lagi. Apalagi mengendap-endap seperti malam tadi. Kan saya sudah bilang. Makan di sini bebas. Tidak ada yang melarang. Tapi ya jangan terlalu malam. Pak Bara paling tidak suka tugas apa pun menjadi alasan para pekerjanya terlambat makan. Dia tidak mau karyawan yang bekerja dengannya merasa tertekan, apalagi sampai sakit." Bu Dena menasihatiku.

BUKAN SALAH RESTUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang