BUKAN SALAH RESTU (7)
Aku langsung tersadar dan segera mengusap air mata. Aneh saja. Kenapa aku bisa hilang kendali seperti ini. Ardi pasti langsung illfil melihat sikapku yang terlalu berlebihan. Menangis tanpa sebab di depan orang yang baru saja aku kenal.
"Ma__Maaf. Aku masuk dulu, ya." Aku langsung meninggalkan Ardi yang masih berdiri mematung.
Aku tak mau nantinya Ardi banyak bertanya tentang kenapa aku sampai menangis.
Ibu bilang, sebagai seorang janda aku harus tahu diri. Jangan terlalu dekat sama laki-laki. Kesannya seperti wanita murahan yang butuh perhatian. Bikin malu keluarga.
Begitu teringat sesuatu, aku mengentikan langkah, lalu berbalik.
"Tolong jangan diadukan, ya. Aku benar-benar betah bekerja di sini. Aku tulus merawat bu Rasti."
Aku seperti sedang memohon. Mengingatkan Ardi agar tak mengadu lagi pada majikannya.
*
Untungnya pagi ini tak ada lagi teguran dari bu Dena. Ardi pasti menutup rapat mulutnya tentang malam tadi. Dia tak sejahat yang aku kira. Ucapannya bahkan tak sekasar saat pertama kali kami berjumpa.
Hari ini hari Minggu. Pak Bara pasti libur bekerja. Otomatis Ardi juga ikut akan jadwalnya. Aku ingin bertemu dengannya secara terbuka. Mengucapkan terima kasih karena dia bisa menjaga rahasia.
"Ardi sudah sarapan belum, Bi?" tanyaku pada bi Rahmi yang sedang meracik bumbu.
"Ardi? Memangnya kenapa?" Bi Rahmi balik bertanya.
"Tiwi ada perlu. Hari ini pak Bara libur, kan?"
"Kalau hari libur, pak Bara bangunnya siang-siang. Kalau Ardi, kadang-kadang pulang ke rumah membantu ibunya yang berjualan."
"Hari ini, dia pulang juga?"
Bi Rahmi mengangguk. Aku kecewa karena tak bisa bertemu dengannya.
Usai sarapan, aku mengumpulkan pakaian kotorku ke keranjang. Saat aku di lorong menuju ruangan laundry, aku berpapasan dengan Tari. Baru saja aku ingin menyapa, Tari buru-buru mengangkat panggilan dari ponselnya yang tiba-tiba berdering tanpa menoleh ke arahku.
Tari mengabaikanku.
"Susan," sapaku. "Pakaianku biar aku cuci sendiri saja, ya?" pintaku pada gadis bertubuh semok itu. "Kebetulan bu Rasti lagi istirahat di kamar."
"Tidak usah! Letakkan saja di situ!" Nada bicaranya terdengar ketus. Tidak biasanya dia seperti itu. Aku sampai terkejut dibuatnya.Aku meninggakan ruangan laundry dengan tanda tanya besar. Apa salahku pada mereka berdua.
*
Kak Sofi datang untuk menjemput ibunya. Hari ini bu Rasti minta diajak jalan-jalan. Ke mana pun boleh, asal keluar dari rumah ini. Alasannya karena pak Bara mungkin seharian akan berada di rumah. Wanita cerewet itu malas jika nanti bertemu dengan dia.
Ada-ada saja tingkah ibu tua itu.
"Mau sampai kapan, Bu?" Kak Sofi yang duduk di samping suaminya yang sedang menyetir, menasihati bu Rasti.
Sementara bu Rasti duduk di kursi penumpang bersamaku dan juga Dio, anak semata wayang kak Sofi yang hampir sebaya dengan Lala, adikku.
"Kenapa harus ibu yang mengalah? Biarkan saja. Dia hanya menjadikan pekerjaan sebagai alasan. Sok sibuk. Memangnya orang-orang yang dia bayar itu kerjanya apa? Sampai-sampai anak itu tidak punya waktu untuk keluarga!"
Kudengar kak Sofi hanya menghela napas. Lalu kulihat juga tangan suaminya mengusap bahu kak Sofi dengan lembut. Itu pasti sebuah kode agar kak Sofi bersabar atas sikap ibunya yang suka asal bicara. Juga keras kepala.
KAMU SEDANG MEMBACA
BUKAN SALAH RESTU
RomanceHarusnya restu ibu itu menjadi restu ilahi, bukan? Tapi tidak bagiku.