BUKAN SALAH RESTU (4)
Dengan berbekal alamat dan nomor ponsel yang diberikan Nining, aku berangkat ke Medan.
Turun dari minibus 'Murni' dari kota Pangkalan Brandan, aku langsung membuka aplikasi ojek online. Dulu sudah pernah aku instal saat tinggal di rumah bang Arman. Lalu aku hapus saat sudah kembali ke kampung halaman.
Kini mau tak mau aku harus kembali menggunakannya. Agar tidak tersesat sampai ke tujuan.
"Tinggal di sini, Dek?" tanya bapak gojek saat menurunkanku di depan rumah besar bak istana.
"Bukan, Pak. Melamar kerja."
Bapak berjaket hijau itu mengangguk. Lalu berlalu pergi.
Baru saja aku hendak menekan bel, seorang pria setengah berlari menuju ke arahku. Bisa kulihat dari celah-celah pagar, pria berseragam biru dongker itu berdiri di hadapanku.
"Ada perlu apa?" Dia bertanya dengan nada tegas.
"Saya Tiwi, Pak." Aku memperkenalkan diri.
"Tiwi siapa?"
Belum sempat aku menjawab, dering ponselku berbunyi.
"Halo." Aku langsung mengangkatnya.
"Sudah sampai mana, Tiwi?" Suara seorang wanita bertanya dengan lembut.
"Di depan pagar, Kak."
"Lho, kenapa tidak bilang? Kan bisa dijemput di terminal tadi."
"Tidak apa-apa, Kak. Tiwi naik grab."
"Ya, sudah. Minta Pak Didi membukakan pagar, ya. Masuk saja."
Wanita di seberang sana menutup panggilan.
"Pak Didi, buka pagarnya. Tiwi disuruh masuk."
Alis Pak Didi terlihat menyatu memandangku.
"Tiwi disuruh Kak Sofi." Aku menjelaskan pada pak Didi yang terlihat tak percaya.
"Oh, kamu yang mau jadi perawat bu Rasti, ya?" Pak Didi yang baru sadar, langsung membuka gembok.
Aku mengangguk dan mengucapkan terima kasih.
*
"Tugas kamu hanya merawat bu Rasti!" ucap seorang wanita paruh baya. Dia memintaku memanggilnya bu Dena
"Mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi. Mengerti?"
Aku mengangguk.
"Kalau mau makan bisa sepuasnya. Apa yang majikan makan kita juga bisa makan. Tapi ya pakai aturan. Baju-baju kamu silakan letakkan di keranjang, lalu bisa antar ke dapur laundry. Nanti ada yang mencucikan. Tapi ya jangan sama pakaian dalam. Bisa kena sial si Susan nanti."
Aku menahan tawa.
"Gajian setiap tanggal satu. Seperti pegawai kantoran, bukan?"
Aku tersenyum mengangguk.
"Punya ATM?"
"Punya, Bu."
"Baguslah. Saya jadi tidak perlu repot-repot membuatkannya. Gajian kita serentak dengan karyawan-karyawan usaha pak Bara yang lainnya. Jadi semua orang harus punya rekening. Biar tidak seperti mengantri sembako kalau tanggal satu datang."
Lagi-lagi aku menahan tawa.
"Mengerti?"
"Iya, bu."
"Ada yang mau kamu tanyakan?"
"Iya, ada. Kak Sofi mana, Bu?"
"Hush! Bu Sofi." Bu Dena meralat ucapanku. "Dia itu anak pertama bu Rasti. Tinggal sama suami dan anaknya di rumah yang lain. Yang tinggal di sini cuma bu Rasti dan pak Bara. Anaknya yang nomor dua. Di sini saya yang bertanggung jawab dengan para pekerja. Jadi kalau kamu ada keluhan, lapor sama saya. Jangan update status!"
KAMU SEDANG MEMBACA
BUKAN SALAH RESTU
RomanceHarusnya restu ibu itu menjadi restu ilahi, bukan? Tapi tidak bagiku.