BUKAN SALAH RESTU (10)
Aku langsung menoleh ke arah Ardi yang berdiri tak jauh dariku. Mencoba meyakinkan bahwa telingaku memang tidak salah dengar dengan ucapannya. Saat melihat ekspresinya pun, dia tidak terkejut sama sekali.
Karena merasa kurang yakin, aku bangkit dari tempat duduk dan mendekati Ardi. Saat berhadapan langsung, ternyata tubuh Ardi tinggi sekali. Pak Bara pasti memberinya makan dengan sangat baik. Tubuhnya tumbuh menjulang ke atas. Ada juga otot-otot di kedua lengannya. Perutnya tidak berlemak. Terlihat rata seperti perut bang Arman.
“Ardi?” Aku sampai mendongak agar bisa melihat wajahnya.
Ardi menoleh ke arahku. Hingga seketika pandangan kami bertemu. Ini pertama kalinya aku bisa melihat langsung wajah Ardi dari jarak dekat. Dengan disinari cahaya bulan, wajah tampannya terlihat begitu jelas. Putih mulus tanpa bulu. Juga sangat bersih seperti sudah terbiasa melakukan perawatan.
Aku sampai malu dengan wajahku yang aku urus seadanya.
Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Seperti pernah melihat wajah Ardi sebelumnya. Tapi lupa dan tidak tahu di mana. Atau mungkin itu hanya dalam imajinasiku saja.
“Ada apa?” tanya dia.
“Tadi aku bilang, aku ini janda.” Aku mengulangi ucapanku.
“ Iya, sudah dengar. Terus kenapa?”
“Kamu tidak terkejut?”
Ardi menggeleng.
“Kamu benar-benar sudah tahu?”
Dia mengangguk.
“Dari pak Bara?”
Ardi kembali menggeleng. “Kak Sofi.”
Mataku mengerjab.
“Kamu... juga akrab dengan kak Sofi?” Aku semakin penasaran.
Bagaimana bisa seorang sopir seperti dia punya waktu untuk berbicara langsung pada kakak dari majikannya.
“Kenapa? Kamu iri?”
“Dih! Sembarangan.”
Ardi tertawa ringan. “Memangnya kenapa kalau kamu janda? Malu?”
“Bukan seperti itu.”
“Terus?”
Terus apanya? Tidak mugkin aku mengatakan kalau jangan sampai tertipu dan diam-diam naksir padaku. Lalu tiba-tiba kecewa karena nyatanya pacaran denganku hanya membuat malu dan murkanya keluargamu karena statusku.
Sebenarnya diam-diam aku sering bertanya pada bi Rahmi tentang Ardi. Pemuda itu anak laki-laki nomor satu. Ibu dan ayahnya berjualan ikan di pasar. Saat libur bekerja, biasanya dia pulang untuk membantu mereka. Usianya dua puluh empat. Lulusan SMK otomotif dan suka sekali dengan mesin.
Sayangnya informasi yang aku tahu dari bi Rahmi berbanding terbalik dengan apa yang aku lihat langsung dari Ardi.
Dari segi usia, tubuh Ardi terlihat jauh seperti pria dewasa. Saat bi Rahmi bilang Ardi seorang yang pendiam, nyatanya pria itu tak henti-hentinya mengajakku bicara.
"Ardi itu kalau sudah pulang, ya tidur. Katanya takut ngantuk dan tidak fokus kalau sedang menyetir. Takut dimarahi pak Bara. Makanya kalau malam dia jarang kelihatan. Apalagi kalau sebelum pulang sudah diajak makan sama pak Bara. Otomatis sama kita-kita jarang ketemu." Begitu kata bi Rahmi.
Tapi lagi-lagi Ardi berada di sini bersamaku. Tengah malam. Saat semua penghuni rumah sudah terlelap. Bahkan pak Bara yang besok hanya duduk manis di kursi penumpang, sudah tertidur dengan tenang.
KAMU SEDANG MEMBACA
BUKAN SALAH RESTU
RomanceHarusnya restu ibu itu menjadi restu ilahi, bukan? Tapi tidak bagiku.