PART 1

6 3 0
                                    

Dia merangkak menghampiriku diiringi suara khas tulang yang patah. Lalu, ia berdiri dengan posisi tubuhnya yang bengkok.

Sosok itu menyeringai hingga sudut bibirnya mencapai mata yang menyisakan rongga saja. Krekk.. Krekk.. Tangannya tergerak meraih pergelangan tanganku. Aku menangis ketika dia mulai mengeluarkan sebuah pisau tajam yang sedari tadi ia tancapkan di punggungnya.

Darah mengalir begitu deras bertepatan dengan tanganku yang tergores. Dia, menulis sesuatu disana.

KAU PEMBUNUH!

Aku menggeleng kuat sambil berusaha menghindarinya. Dia masih mencengkram pergelangan tanganku yang mulai mengeluarkan setetes demi setetes darah akibat kukunya yang menembus kulitku.

"KAU HARUS MATI!" ucapnya tanpa suara. Dia hanya menggerakkan mulutnya tanpa bersuara. Aku mulai berasumsi kalau dia bisu.

"Aku bukan pembunuh! SIAPAPUN TOLONG BANTU AKU!" Aku berteriak sekeras mungkin walaupun hanya menguras tenaga.

Tiba-tiba dia menarik tubuhku hingga melayang dan menjatuhkanku tepat ke dalam sebuah lubang bekas galian yang cukup dalam.

Dia menyeringai sampai wajahnya hancur lebur diikuti dengan tanah yang bergerak mengubur diriku.

"AKKKKHHHHHH! TOLONGG!!"

"Sayang, bangun, Nak. Rin kamu kenapa?"

Perlahan aku membuka mataku yang sedikit menyipit akibat sinar matahari yang menerobos lewat jendela.

"A-aku mimpi buruk, Ma! Wanita berwajah menyeramkan itu mengatakan kalau aku membunuhnya! Padahal aku tidak melakukan apapun," ucapku lirih sambil memeluk ibuku.

"Sudahlah, itu hanya mimpi. Sebaiknya kamu pergi ke sekolah," suruh mama lalu berdiri dan menarik tanganku supaya bangun.

Masih dalam keadaan gemetaran, aku segera masuk ke kamar mandi. Kunyalakan shower yang kini mengguyur tubuhku.

Tiba-tiba saja air tersebut berhenti menyiram tubuhku. Aku merasakan sebuah tangan dingin menyentuh lengan kananku. Aku menoleh—

Tidak ada apapun.

Lalu tiba-tiba saja shower tersebut kembali menyala, air tersebut terasa lebih dingin dari yang tadi.

Beberapa detik kemudian shower tersebut kembali mati.

Sesuatu mencengkram lenganku keras. Aku tak dapat melihat apapun, yang dapat kurasakan hanyalah rasa perih—rasanya seperti kuku setajam silet yang menusuk kulitmu.

Walaupun aku tak dapat melihat siapa yang melakukannya, tapi dapat dilihat kalau kulit tanganku mengeluarkan darah. Aku segera menutupnya dan memakai pakaianku secepat kilat.

Aku menolak ibu yang mengajakku sarapan terlebih dahulu. Aku langsung pergi ke sekolah dengan keadaan kakiku yang lemas.

•••

"Hai, Rina!" sapa Gina sambil tersenyum lebar hingga menampakkan gigi gingsulnya.

"Sudah kubilang, aku lebih menyukai dipanggil Arin dari pada Rina. Nama Rina banyak sekali di sekolah ini," kesalku sambil mendelik. Dia tertawa kecil membuat gadis dengan rambut bergelombang itu terlihat semakin manis.

"Aku ada berita baru," ucap gadis gingsul tersebut sambil memasang wajah seriusnya.

"Mau seserius apapun, wajahmu tetap saja seperti pelawak," ucapku yang tentunya bercanda. Gina mengumpat kesal, tapi satu detik kemudian dia menatapku serius lagi.

"Kamu tahu kan Kania? Yang bisu itu?" tanya Gina berbisik. Aku menggeleng tak tahu. Tapi, mendengar kata bisu ... aku teringat mimpi itu.

"Yah, aku kira kamu tahu. Dia kakak kelas kita. Tidak banyak yang kenal sih karena dia selalu diam di kelas karena kalau keluar dari kelas, dia akan diejek 'si bisu'. Dia ... kecelakaan tadi malam, mobil yang dia tumpangi berguling dan terbakar. Kasihan sekali, padahal dia baik dan lumayan cantik. Tapi sayangnya, dia harus berakhir malang," ucap Gina sambil menunduk kasihan, membayangkan kejadian tersebut.

"Kasihan sekali dia," lirihku sambil menunduk, menatap sepatu hitamku.

"Memang. Ayo kita ke kelas!" ajak Gina sambil tersenyum dan kembali menunjukkan gigi gingsulnya.

Kami berdua berjalan beriringan menuju kelas X IPS 1. Saat kami masuk, kami disambut dengan teriakan Karin yang tengah menutup wajahnya dengan buku.

Aku mengganggap ini hal biasa yang terjadi. Karin adalah seseorang yang memiliki kelebihan melihat sesuatu yang tak terlihat, atau istilahnya 'indigo'.

"Karin kenapa?" Tanyaku pada Arvin yang sedari tadi menyuruh murid lain untuk menjauhi Karin yang tengah berteriak histeris.

"Seperti biasa, katanya dia melihat arwah kak Kania yang terus menatapnya tajam. Katanya, sekarang dia duduk di kursimu," ucap Arvin sambil bergidik ngeri. "Atau ... kamu ada masalah dengan Kak Kania?" tanya Arvin sambil memicingkan matanya.

Aku panik lalu menggeleng. "Tidak! Bahkan aku tidak mengenalnya sama sekali," jawabku lalu berdiri di depan bangku.

"Permisi, jika kakak ada di sini, tolong pergi. Saya tidak kenal kakak, dan saya tidak pernah menganggu kakak." Anggap saja aku sudah gila karena berbicara dengan angin. Tapi, sungguh! Aku memang selalu seperti ini. Aneh memang, tapi, itulah aku.

Karena Pak Bagus sudah datang, aku langsung duduk di kursiku. Gina segera duduk bersidekap di sampingku.

Sampai sekarang, aku masih  bingung kenapa orangtua Pak Bagus memberinya nama 'Bagus', padahal dia tidak ada bagusnya sama sekali. Dia cukup galak saat mengajar, dan itu menyebalkan.

Oh, lupakan apa yang kukatakan barusan.

Sekitar 30 menit pelajaran berlangsung, aku merasa ada sesuatu yang meniup bagian belakang leherku. Udara disini berubah 180°, gerah, panas, dan pengap.

Aku menoleh, tidak ada apa-apa di belakangku. Namun, tiba-tiba saja aku ingin buang air kecil. Karena tak mungkin ditahan, aku meminta izin dengan susah payah ke Pak Bagus untuk pergi ke toilet sebentar.

Setelah berlari kecil ke toilet dan melakukan aktivitas buang air kecil, aku segera keluar dari bilik toilet. Sebelum kembali ke kelas, aku memeriksa penampilanku terlebih dahulu lewat cermin besar yang menempel di dinding.

Sekitar sepuluh detik aku bercermin di sana, tiba-tiba sebuah cairan merah pekat yang mengalir pada cermin membentuk sebuah kata yang mengagetkanku.

PEMBUNUH!

KAU PEMBUNUH!

DASAR PEMBUNUH GILA!

Tiba-tiba saja wajahku yang berada di kaca membelah dan mataku jatuh menggelinding. Bibirku sobek dan kepalaku terlepas dari leher.

Aku mencubit lenganku. Nyata! Ini nyata! Kakiku melemas dan rasanya melebur.

Aku terjatuh dan duduk di lantai. Air mata membasahi pipiku. Aku tak sanggup melihat wajahku yang berada di kaca tadi.

Kepalaku rasanya sangat berat. Pandanganku memburam bertepatan dengan suara tawa menggelegar yang membuat telingaku berdengung.

Ini benar-benar nyata ....

Aku tak sanggup.

Setelahnya, aku tak merasakan apapun lagi selain pandangan gelap dan seseorang berteriak histeris di ambang pintu.

TBC—

author's note :

Gak serem ya? Aku bener-bener udah lama gak nulis horror dan jatuhnya malah garing ceritanya. Maaf ya kalau garing dan gak serem sama sekali.

Di sini, aku bikinnya dari sudut pandang Arina dulu.
Pendek ya?

Kalau ada yang salah, aku menerima krisar kalian, jadi jangan sungkan buat memperbaiki kalimat-kalimat yang salah❤

Makasih yang udah baca—!

Terror Hantu BisuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang