4. Calon Siswa

15 5 0
                                    

"Sekarang istirahatlah." Seorang pemuda bersurai gelap berlalu pergi meninggalkan ketujuh remaja itu di depan kamar mereka.

Ketujuhnya saling tatap satu sama lain. "Apakah bermalam di sini merupakan pilihan yang tepat?" tanya Pijar ragu.

"Tidak ada pilihan lain. Satu-satunya bangunan yang ada hanyalah tempat yang disebut akademi ini," sahut Gegana realistis.

"Kita telah memasuki akademi. Apakah kita akan menjadi siswa akademi ini?" Rembulan juga angkat suara.

"Ntahlah. Jawabannya mungkin akan kita temukan besok," sambung Samudera.

Mereka memutuskan untuk mengakhiri obrolan dan beristirahat. Para gadis dan laki-laki tidur terpisah di ruangan yang berbeda. Kamar itu tidaklah begitu luas dan hanya memiliki dua buah ranjang.

"Hanya ada dua ranjang. Haruskah kita meminta kamar tambahan," usul Gegana melihat ke arah teman-temannya.

Ancala tidak peduli dan lebih memilih melangkah menuju salah satu ranjang. Ia langsung merebahkan tubuhnya di sana. "Aku akan tetap di sini. Kalian cari kamar lain," ucapnya seenaknya.

"Kita sebaiknya berbagi, Ancala." Bumantara yang sejak tadi diam akhirnya membuka suara.

Ancala mendudukkan dirinya. "Tapi aku tidak ingin berbagi. Lihatlah kamar ini begitu sempit untuk kita semua." 

Ranjang itu bergetar. Sontak membuat Ancala menatap heran. Butuh waktu beberapa detik saja sampai ranjangnya berubah menjadi bertingkat. Begitupula dengan ranjang di sebelahnya.

"Masalah terselesaikan." Samudera berucap girang dan langsung mengambil posisi tidur di ranjang bagian atas.

Bumantara mendapatkan ranjang bagian atas bersama Ancala yang berada di ranjang bagian bawah. Ia tidak dapat menghilangkan pemandangan bangunan yang disebut akademi itu dari kepalanya. Belum lagi dengan patung singa yang menyambut kedatangannya dan teman-teman yang lain.

"Sejak awal pergi perasaanku tidak enak. Apakah ini jawabannya? Aku merasa akan sulit meninggalkan tempat ini. Tatapan singa yang menjaga pintu masuk akademi ini begitu menakutkan." Bumantara berucap dalam hati. Sejak awal, ada sesuatu yang mengusik pikiran yang membuatnya merasa tidak tenang.

"Semoga tidak ada hal buruk yang terjadi." Harap Bumantara sebelum menutup kelopak matanya.

***

Suara pekikan burung gagak memenuhi ruangan yang sontak membuat penghuni di dalamnya terbangun dari alam mimpi. Terdengar dumelan tidak senang yang keluar dari mulut cowok-cowok itu. Waktu tidur mereka tidak cukup dan sekarang mereka harus bangun pagi-pagi sekali.

"Dari mana datangnya suara gagak itu. Berisik sekali!" ungkap Ancala yang merasa terganggu. Ia akan kembali tidur, tetapi burung gagak yang tidak terlihat wujudnya itu kembali bersuara.

"Kurasa kita harus bangun." Bumantara beranjak turun dari tempat tidurnya.

"Bangunlah dan temui saya di aula."

Suara seseorang refleks membuat Bumantara membulatkan bola matanya. Samudera yang masih terlelap langsung mengangkat kepalanya. Mencari sumber suara, tetapi tidak ditemukan.

"Suara siapa itu? Apakah hantu?" Samudera memasang wajah takut.

"Tidak ada hantu di sini. Suaranya terdengar seperti pria yang membawa kita ke kamar ini," jawab Gegana tenang.

"Sebaiknya kita ke aula," ajak Bumantara.

Gegana dan Samudera mengangguk setuju. Sedangkan Ancala masih betah bergelung di ranjang empuknya.

"Ancala, kau tidak ikut?" tanya Bumantara pada cowok berotot itu.

"Aku akan kembali tidur," jawab Ancala dengan suara berat sambil menaikkan selimut hingga menutupi wajahnya.

"Atas perintah kepala sekolah, ketujuh tamu yang menginap di akademi diharapkan datang ke aula. Jika tidak, kepala sekolah tidak akan mengizinkan para tamu pergi meninggalkan akademi."

Pengumuman itu terdengar jelas di kedua ruangan. Ketujuh remaja tersebut bergegas menuju aula. Terlihat seorang pria berambut kecokelatan berdiri dengan gagah di tengah-tengah ruang aula. Di sampingnya ada seorang pemuda berambut hitam yang menemani.

"Selamat datang para calon siswa Seperra Academy. Saya Sirius, selaku kepala sekolah Seperra Academy. Kalian bertujuh ialah anak-anak terpilih yang akan mewakili akademi dalam sebuah turnamen. Seperra Academy adalah rumah baru kalian," tukas kepala sekolah.

"Saya Patra yang mengirimkan surat kepada para pemenang olimpiade. Mulai hari ini, kalian bukanlah seorang pemenang, melainkan hanya siswa biasa yang belajar di Seppera Academy," sambung pemuda di samping kepala sekolah yang bernama Patra itu.

Selesai mendengarkan, Ancala langsung mengangkat tangannya. "Apa maksudnya? Aku tidak akan tinggal di sini. Apalagi menjadi seorang siswa di sebuah akademi."

"Tuan Ancala, Anda sebaiknya bicara dengan sopan. Saya telah memilih Anda dan Anda pun telah memilih untuk datang. Silakan jika Anda ingin meninggalkan akademi, tetapi itu pun jika Anda bisa."

"Baik. Aku akan pergi." Ancala berbalik meninggalkan aula. Akan tetapi, ia tidak bisa melangkah lebih jauh meninggalkan tempat tersebut. Pintu aula tidak bisa dibuka, begitupun dengan jendela yang ada di sana.

"Buka pintunya untukku!" Ancala berucap tegas.

"Sudah saya katakan bahwa Tuan tidak akan bisa meninggalkan akademi. Baik Anda ataupun yang lain sudah terikat dengan akademi," tukas Patra lagi.

"Apakah kami tidak akan bisa pulang? Kami akan mati di sini?" Pijar bertanya dengan bahu yang mulai bergetar.

"Nona tidak akan mati jika menuruti perintah kepala sekolah, yaitu belajar dan memenangkan turnamen mewakili Seperra Academy. Setelah berhasil membawa kemenangan bagi akademi, Nona dan teman-teman Nona akan saya antar kembali ke rumah," jelas Patra tenang.

"Mengapa Anda memilih kami? Tidak bisakah memilih siswa akademi sendiri untuk mengikuti turnamen itu?" Mentari ikut bersuara.

"Akademi ini tidak lagi memiliki siswa. Itu sebabnya saya memilih calon siswa dari luar. Saya tahu ada banyak pertanyaan bersarang di kepala kalian, tetapi kalian tidak diizinkan meninggalkan akademi. Lampu yang ada di sana akan memberitahukan kekuatan yang kalian miliki. Jika lampu tersebut tidak mampu memberitahukan kekuatan terpendam yang ada di diri kalian, maka akademi tidak memiliki wewenang menahan kalian di sini."

Lampu yang terletak di atas meja itu menarik perhatian calon siswa akademi, termasuk Ancala. Cowok itu langsung berjalan mendekat ke arah lampu tersebut. "Apa yang harus saya lakukan?" tanyanya tenang dan sopan. Ia sangat ingin pergi meninggalkan tempat tersebut.

"Letakkan tanganmu di bawah lampu. Tidak hanya memberitahukan kekuatan terpendam, tetapi lampu itu akan memberitahukan apa yang ingin kalian ketahui."

"Saya serahkan sisanya padamu, Patra." Sirius menepuk pelan pundak Patra lalu pergi meninggalkan tempat tersebut.

Ancala menatap serius Patra lalu beralih pada lampu yang ada di depannya. Tanpa basa-basi lagi, ia langsung meletakkan tangannya di bawah lampu tersebut. Cahaya kekuningan melingkupi punggung tangannya. Gambaran dirinya berhadapan dengan seseorang terlihat jelas dalam bola lampu tersebut. Ia dapat dengan mudah membaca pergerakan lawannya itu dan menyerangnya.

"Lampu bodoh. Jangan menahanku di tempat ini. Aku tidak punya kekuatan seperti yang tergambar di bola lampu itu!" Ancala berucap kesal lalu mengangkat tinggi lampu tersebut dan hendak membantingnya. Namun, sebelum Ancala sempat menghancurkan lampu tersebut, cahaya kemerahan melingkupi tangan dan membuatnya menjerit kesakitan.

Bersambung...

Hiraeth [TERBIT] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang