13. Meninggalkan Akademi

6 5 0
                                    

"Aku sangat bersemangat. Tidak disangka bahwa kita akan melihat dunia luar." Samudera berucap penuh antusias.

"Tapi ingatlah tujuan sebenarnya kita ke kota adalah untuk latihan. Bukan untuk jalan-jalan." Ancala memperingatkan temannya itu. Takut jika sang kawan akan kalap saat berada di kota nanti.

"Yah, latihan terus kita. Sesekali bukan masalah, kan, jika kita menikmati waktu santai?" sahut Samudera lagi.

Ancala menaikkan bahu. "Kita lihat saja nanti. Aku yakin kita tidak bisa menikmati waktu bersantai, karena memang tujuan kita adalah latihan."

Samudera tidak lagi menanggapi ucapan Ancala dan lebih memilih merebahkan diri di ranjang sambil menunggu teman-temannya bersiap. Patra memberitahukan bahwa mereka akan ke kota dan melihat-lihat sekitar sebelum akhirnya melakukan latihan dengan suasana baru.

"Ayo pergi. Aku tidak ingin Patra datang menjemput kita," ajak Gegana seraya mengenakan tas selempangnya.

Ketiga orang lainnya langsung bergerak tanpa menjawab meninggalkan ruangan tersebut. Bersamaan dengan itu, para gadis pun telah siap. Mereka menggerakkan kaki menuju aula. Terlihat di sana sudah ada Patra dan Andro yang menunggu.

"Mereka terlihat sangat keren," cetus Pijar berbisik.

"Ya. Keduanya punya aura berbeda, tapi dari yang kulihat, mereka tampak sama," sahut Rembulan.

"Kau juga berpikiran seperti itu, Lan? Bukanlah mereka terlihat mirip?" Pijar tampak antusias membahas kedua orang dengan postur dan tampilan yang berbeda itu.

"Sudahlah. Jangan menggosipi Patra dan Mr. Andro. Mereka bisa mendengarnya." Mentari menyudahi perbincangan kedua temannya sebelum melangkah lebih jauh.

Kedua gadis itu mengerti dan tidak lagi membicarakan Andro dan Patra. Mereka bertujuh berkumpul di depan kedua pria tersebut dengan rapi.

"Saya tidak akan berbicara banyak, karena tujuan kepergian kita sudah diketahui pasti oleh siswa-siswi akademi." Patra mulai angkat suara. "Saya dan Tuan Andro akan menemani latihan kalian hari ini," sambungnya lagi.

Andro berdehem. "Saya dan Patra akan memberikan waktu bagi kalian untuk berkeliling dan menikmati waktu di kota, karena kami tahu kalian membutuhkan tempat baru untuk menjernihkan pikiran. Berada dua bulan lebih di akademi tentunya membosankan," jelasnya.

"Para siswa akan diberikan kebebasan, tetapi jangan sampai melupakan tujuan utama kedatangan kita ke kota," sambung Patra lagi.

"Beli apa saja yang mungkin dapat membantu dalam turnamen nanti. Atau apa pun yang kalian inginkan. Biayanya akan ditanggung akademi. Meskipun begitu, saya harap kalian dapat menggunakan uang dengan bijak dan tidak boros."

Setelah memberikan pengarahan dan uang akomodasi selama perjalanan, seluruh siswa-siswi akademi bersama Patra dan Andro bergerak meninggalkan akademi menggunakan kereta kuda yang dikemudikan oleh Patra.

Kereta bergerak dengan kecepatan santai. Jalanan yang dilalui dipenuhi bebatuan membuat penghuni di dalamnya tidak dapat duduk dengan tenang. Meskipun begitu, suasana dalam kereta begitu tenang. Tidak ada satu pun dari siswa akademi itu buka suara.

"Kalian begitu diam. Tidak masalah jika ingin mengobrol. Anggap saya dan Patra tidak ada di sini. Jangan sungkan dengan kami berdua." Andro memecah keheningan dalam kereta.

"I-iya, Mr," sahut mereka kompak.

"Atau kalian merasa mual karena jalanan yang kita lalui dipenuhi bebatuan seperti ini?" tanya Andro lagi mencoba menghilangkan ketegangan para siswa.

"Tidak, Mr. Justru saya dan teman-teman merasa senang karena dapat melihat-lihat kota. Kami jadi penasaran apakah terlihat seperti yang ada di dunia kami atau tidak," jawab Mentari berani.

Andro mengangguk beberapa kali. "Tentu saja berbeda. Graxland di dunia ini dan Graxland di dunia kalian tidaklah sama. Keduanya berada di dimensi yang berbeda. Kalian bisa lihat sendiri perbedaannya nanti," jawab Andro memberikan penjelasan.

Para siswa itu ber-oh ria. Pertanyaan yang selama ini hinggap di kepala mereka kini sudah terjawab dan sebentar lagi akan dapat dibuktikan dengan lebih konkrit dan tepat.

"Mr. Andro, saya ingin bertanya apakah kami masih dapat meninggalkan dunia ini dan kembali ke dunia asal kami meskipun tidak memenangkan turnamen?" Gegana yang mulai merasa nyaman mengutarakan pertanyaan yang berputar di kepalanya.

Rembulan melotot ke arah Gegana. "Kenapa kau tanyakan itu?" Dia berucap dengan menggerakkan bibir tanpa menciptakan suara.

"Aku harus melakukannya," balas Gegana tanpa mengeluarkan suara.

Andro diam untuk sejenak. "Apakah kamu berpikir untuk tidak memenangkan turnamen?"

"Ah, bukan seperti itu maksud saya, Mr. Tentunya saya dan teman-teman menginginkan memenangkan turnamen itu, tapi kita tidak tahu apa yang akan terjadi nanti. Mengingat saya dan teman-teman merupakan orang baru yang hanya memiliki waktu latihan selama tiga bulan, bukankah hal tersebut cukup mengkhawatirkan? Lawan kita tentunya merupakan orang-orang yang sudah berkompeten dan berpengalaman," jelas Gegana mengutarakan maksudnya. Ia tentunya ingin memenangkan turnamen tersebut, tetapi kemungkinan untuk tidak memenangkannya pun ada.

"Saya mengerti kekhawatiranmu, tapi kalian sudah melakukan latihan yang baik. Kalian tidak kalah dengan siswa-siswa lain yang sudah belajar lebih lama dari kalian. Jika saya yang ada di posisi kalian, maka saya tidak akan berpikir bahwa saya kalah. Saya harus menang. Bagiamanapun caranya, saya harus memenangkan turnamen itu."

"Saya mengerti, Mr, tapi apakah kami masih dapat pulang jika hasil turnamen tidak sesuai yang diharapkan?" Gegana kembali bertanya, sebab Andro tidak menjawab pertanyaannya.

"Bagaimana menurutmu, Bumantara? Kau terlihat sangat pendiam." Andro beralih pada Bumantara yang sejak tadi menjadi pendengar setia.

"Oh, saya pun ingin mengetahui jawaban Kak Andro," katanya sambil membenarkan posisi duduk.

"Sebelum memberikan jawaban, saya ingin mengetahui terlebih dahulu apa jawabanmu."

Seluruh pasang mata tertuju pada Bumantara. Kini, tidak hanya Andro saja yang penasaran dengan jawaban Bumantara, tetapi teman-temannya juga.

Bumantara mengangguk pelan. "Saya tidak bisa memberikan jawaban pasti, karena saya tidak tahu mengenai turnamen ataupun akademi. Saya tentunya berharap memenangkan turnamen, tapi seperti yang dikatakan Gegana, kemungkinan untuk kalah itu ada. Saya tidak bisa memberikan jawaban, tapi saya harap, kami dapat dipulangkan ke dunia kami meskipun hasil yang kami dapat dari turnamen tidak sesuai yang diharapkan," tukasnya memberikan jawaban.

"Saya pun tidak dapat memberikan jawaban pasti, karena yang memiliki wewenang ialah kepala sekolah. Yah, mengenai hal itu, sebaiknya kita kesampingkan dulu. Jangan memikirkan menang atau kalah, tetapi lakukan saja dengan sebaik mungkin. Gunakan kekuatan, kecerdikan dan kerja sama kalian. Saya yakin, hasil tidak akan mengkhianati semua usaha yang telah kalian lakukan."

"Baik, Mr. Saya dan teman-teman pasti berusaha semaksimal mungkin," cetus Ancala angkat suara.

"Latihan kali ini pun, lakukan dengan baik," kata Andro lagi lalu mengarahkan pandangan pada jalanan.

Patra mengemudikan kereta dengan sangat serius. Meskipun begitu, ia menyimak percakapan Andro dan para siswa akademi. Melalui sudut matanya, ia melihat ke arah Andro. Seulas senyum tipis terbit di bibirnya.

Bersambung...

Hiraeth [TERBIT] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang