9. Pertandingan Persahabatan (1)

9 5 0
                                    

Bumantara menajamkan indera penglihatannya guna mengamati pergerakan Andro. Pria itu bergerak cepat ke sana ke mari meninggalkan Bumantara yang tengah berkonsentrasi penuh terhadap dirinya.

"Konsentrasi, Bumantara," ucapnya dalam hati.

Setelah merasa mendapatkan target yang tepat, Bumantara langsung berlari menuju Andro dan menyentuh pundaknya. Namun, Andro yang disentuh olehnya hanya berupa duplikat sang mentor saja.

"Tidak semudah itu, Nak," ucap Andro di belakang sang anak didik.

Bumantara berbalik. Lagi-lagi Andro hilang dari penglihatannya. Namun, ia berusaha untuk tetap tenang. Seulas senyum tipis terbit di ujung bibirnya. Dia berlari ke sisi kiri lalu beralih berlari ke sisi kanan. Andro membuat manipulasi dirinya. Kali ini, Bumantara tidak akan terjebak.

"Saya tidak tahu kamu akan melakukan itu," komentar Andro. "Kamu sudah berkembang jauh. Sebelumnya kamu bahkan tidak bisa melihat pergerakan saya."

"Semua berkat bantuan Kak Andro."

"Sudah tugas saya membantumu latihan. Ah, ya, mengenai kekuatan penyerapan itu, kamu tidak bisa melakukannya terhadap saya, dikarenakan kekuatan saya jauh lebih kuat darimu. Kamu akan berlatih dengan teman-temanmu."

Kening Bumantara menciptakan kerutan tipis. "Saya akan berlatih dengan mereka, Kak?" tanyanya memastikan.

"Yap. Kamu tidak hanya berlatih, tetapi sekaligus melakukan praktik. Kamu dan teman-temanmu akan menjadi rival satu sama lain. Anggaplah kalian tengah berada di turnamen dan harus mengalahkan lawan. Serang dengan sungguh-sungguh dan serius. Sudah waktunya bagi kalian untuk mengeluarkan potensi terbaik yang ada di diri masing-masing."

Cowok itu meneguk salivanya kasar. Sekali pun ia tidak pernah berpikir akan menyerang teman-temannya secara serius dan nyata. Namun, Andro memintanya melakukan itu sebagai bentuk praktik lapangan.

"Apakah tidak apa-apa, Kak? Bagaimana jika kami terluka?" Jika bisa memilih, Bumantara tidak ingin menyerang teman-temannya.

"Tidak apa-apa. Ada saya dan guru lainnya yang akan mengawasi. Juga ada Patra yang membantu. Kamu tidak perlu khawatir. Latihan itu akan dilakukan dua hari lagi. Latihan sebaik mungkin dan jangan membuat saya malu di depan guru lainnya. Meskipun saya merupakan guru pembimbing yang paling muda, kemampuan saya tidak kalah dari guru-guru senior lainnya."

"Baik, Kak. Saya akan berusaha sebaik mungkin."

"Tunjukkan latihan selama sebulan ini dan jangan ragu atau takut. Jika kamu ragu dan takut, maka kamu yang akan menjadi mangsa."

***

Bumantara melihat sekeliling. Suasana ruang terbuka itu membuatnya tidak bisa bernapas dengan leluasa. Pun begitu dengan jantungnya yang berdetak lebih kencang. Berada di ruangan itu benar-benar membuatnya tidak bisa tenang.

"Aku gugup sekali. Tidak hanya ada kak Andro, tapi ada guru-guru yang lain yang juga. Aku tidak menyangka jika latihan ini begitu serius. Terlihat jelas dari masing-masing guru dan teman-teman yang lain." Cowok itu bergumam tanpa menghentikan gerakan kakinya.

"Tenangkan pikiranmu, Bumantara. Anggap saya dan semua yang ada di ruangan ini tidak ada. Hanya ada kamu dan musuhmu yang harus dikalahkan. Dia telah membuatmu kehilangan orang-orang yang kau sayangi. Jangan beri dia ampun. Serang dan luapkan amarah yang ada dalam hatimu itu. Dia adalah musuh yang harus kamu kalahkan."

Penuturan Andro masuk ke pikiran Bumantara. Membuatnya membayangkan apa yang dikatakan sang mentor dan menciptakan bentuk setiap gambaran tindakan keji sang musuh yang membuatnya kehilangan orang-orang tersayang. Tangannya seketika terkepal. Rasa gugup yang sempat hinggap di dirinya seketika hilang.

"Saya senang rasa gugupnya telah hilang, tapi ingat, jangan terbawa emosi. Kamu harus bisa berpikir dengan jernih. Jangan sampai melewati batas, karena kekuatanmu itu belum stabil." Peringat Andro lagi.

Bumantara mengangguk beberapa kali. Ia mendengar ucapan Andro, tetapi tidak memahami sepenuhnya apa yang dikatakan pria itu. Meskipun begitu, Bumantara masih bisa mempertahankan kesadarannya dan tidak terlarut sepenuhnya dalam emosi.  Ia masih bisa memenangkan diri dan mengamati Ancala dan Pijar yang mulai masuk ke ruangan.

"Semangat, teman-teman."

Kedua siswa itu berhadapan satu sama lain lalu memberi hormat. Tanpa basa-basi, Pijar menghilangkan diri dari hadapan Ancala. Hal tersebut membuat cowok itu menatap bingung. Namun, hanya untuk sesaat saja. Ancala kembali memfokuskan diri dan mulai mengamati sekitarnya dengan perlahan. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Pijar di sana.

"Ah, aku baru tahu kekuatanmu bisa menghilang. Cukup merepotkan juga, ya. Aku harus mengamati setiap sudut dengan detail dan rinci," tukas Ancala memancing Pijar. Gadis itu tidak akan mungkin menghilangkan diri selamanya. Ada kalanya ia harus menampakkan diri.

"Yap. Bukankah hal yang bagus? Aku akan sangat membantu tim saat turnamen nanti," sahut Pijar yang mulai menampakkan diri. Ia tidak ingin membuang-buang energi hanya untuk menghilangkan diri dari Ancala. Ada baiknya tubuh transparan itu digunakan dalam keadaan terdesak saja.

"Sebaiknya kita mulai saja," kata Ancala lagi.

Pijar tersenyum miring. Ia mengeluarkan sebuah pisau dari balik seragam latihannya lalu bergerak menuju Ancala. Dikarenakan tidak memilki bakat alami sebagai seorang penyerang, guru pembimbing gadis berambut pendek itu mengajarkan cara menyerang dalam keadaan terdesak menggunakan pisau. Hanya dalam waktu sebulan ia dapat dengan lihai menggunakan pisau tersebut dan melayangkan serangan pada Ancala.

Di sana, bukan hanya Pijar saja yang berlatih dengan sungguh-sungguh. Ancala dapat dengan mudah menghindari setiap serangan Pijar. Ia berada selangkah di depan Pijar. Setiap gerakan gadis itu dapat dibaca olehnya. Begitupun dengan strategi yang dilakukan Pijar. Ancala dapat mengingatkan semuanya dengan mudah. Hal tersebut membuatnya terhindar dari jebakan yang dibuat Pijar.

"Aku mengaku kalah." Ancala berucap dengan kedua tangan diangkat. Pijar berhasil membekuknya. Sebuah pisau berada tepat di bawah leher Ancala dan satu pisau lain berada di dekat perutnya.

Pijar melepaskan Ancala. "Kau tidak serius. Sejak tadi hanya menghindar," cetus Pijar sebal. Ia merasa kemenangannya tidak cukup menyenangkan.

"Bakatku tidak digunakan untuk menyerang, melainkan untuk bertahan. Aku telah mendapatkan informasi darimu, mengenai kekuatan sampai strategi yang kau gunakan. Kau dan aku tampaknya akan menjadi partner yang tepat dalam turnamen nanti," tukas Ancala memberikan penjelasan.

Pijar terkekeh. "Tampaknya kau sudah berubah, ya. Tidak lagi arogan dan sombong," katanya. "Baiklah. Sebagai sesama support role, ada baiknya kita bekerja sama. Kita bisa melakukan latihan bersama lain kali."

Ancala menjulurkan tangan di depan Pijar. Gadis itu menerima uluran tangan sang kawan lalu tersenyum. Sedangkan Ancala hanya mengangguk pelan saja. Berada di bawah asuhan guru pembimbing yang tepat, Ancala menjadi lebih baik. Tidak lagi sombong dan meremehkan orang lain.

Pemandangan di tengah ruangan terbuka itu menarik atensi penonton. Apresiasi berupa tepuk tangan memeriahkan suasana dalam ruangan tersebut. Guru pembimbing Ancala dan Pijar tersenyum puas saat melihat kedua anak asuhnya berhasil menerapkan ajaran dan latihan dengan sangat baik.

"Ancala dan Pijar akan menjadi rekan yang solid," ucap Patra selaku pembawa acara pertandingan persahabatan tersebut. "Selanjutnya saya panggilkan Samudera, Mentari dan Rembulan. Silakan masuk ke arena."

Bersambung...

Hiraeth [TERBIT] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang