5. Keputusan

12 5 0
                                    

Pintu kamar itu terbuka. Satu persatu pemenang olimpiade meninggalkan ruang tidur tersebut. Secara perlahan, mereka bergerak dengan hati-hati. Meminimalisir suara apa pun yang akan membuat mereka ketahuan. Bola mata dilebarkan di tengah gelap dan sunyinya akademi.

"Hati-hati. Kau menginjak kakiku," protes Rembulan pada seseorang yang ada di belakangnya.

"Maaf, Lan." Pijar berucap dengan tangan yang dirapatkan.

Rembulan mendesis pelan sebelum kembali melanjutkan langkah, mengikuti Ancala yang memimpin jalan.

Suara derap kaki sontak membuat ketujuh remaja itu berhamburan dalam diam guna mencari tempat persembunyian. Patra melewati mereka begitu saja yang bersembunyi di lorong.

"Syukurlah Patra tidak melihat kita." Pijar berucap lega.

"Kita harus keluar dari tempat ini," ucap Ancala dengan sorot mata serius.

"Aku setuju," sahut Mentari tanpa pikir panjang.

"Apakah kita akan berhasil meninggalkan tempat ini?" Bumantara bertanya ragu. Sejujurnya, ia tidak setuju dengan ide Ancala. Ia merasa tindakan tersebut tidak tepat dan hanya akan menumbuhkan masalah bagi diri mereka sendiri.

"Jika kau betah berada di tempat ini, maka jangan ikuti kami. Kau hanya akan menghambat perjalanan." Ancala tidak dapat menyembunyikan ekspresi kesal yang tergambar jelas di wajahnya.

Bumantara terdiam di tempatnya. Tentunya ia ingin pergi meninggalkan tempat yang dikatakan sebagai akademi itu dan memilih pulang ke rumah. Akan tetapi, gambaran dalam bola lampu pendeteksi kekuatan itu tidak dapat dihiraukan begitu saja olehnya.

"Apakah lampu itu menunjukkan kebenaran? Tapi mengapa di sana aku terlihat seperti membunuh orang lain, menggunakan tanganku sendiri?" Bumantara bertanya bingung pada dirinya sendiri.

Dalam lampu itu, Bumantara terlihat sedang berhadapan dengan dua orang dan dia dapat dengan cepat bergerak dan menghampiri salah satunya lalu menepuk pundak orang tersebut. Tidak lama setelahnya, Bumantara pergi meninggalkan lelaki seumuran dirinya tergeletak di lantai begitu saja.

"Bisa kau buka pintu kayu ini?" Ancala bertanya pada Gegana. Tanpa terasa mereka telah sampai di depan sebuah pintu.

Gegana mengangguk pelan. Ia menarik lengan bajunya sampai sebatas siku lalu mendorong pintu itu dengan seluruh kekuatan yang dimiliknya. Namun, pintu itu masih bergeming di tempatnya. Seakan seluruh tenaga yang dikerahkan cowok tidak berarti apa-apa.

"Lebih baik dilakukan secara bersama-sama," usul Samudera tiba-tiba.

"Yah, tidak ada salahnya melakukan itu, tapi aku tidak ingin dia ikut membantu." Ancala mengarahkan jari telunjuknya ke arah Bumantara.

"Hei, Bumantara adalah bagian dari kita. Tidak ada salahnya jika dia membantu," cetus Gegana membela.

"Lihatlah dia. Di antara kita berempat, dia yang paling kecil. Tenaganya tidak jauh berbeda dengan gadis-gadis itu. Kau mengharapkan apa dari dia?"

Penuturan Ancala sontak membuat Bumantara melakukan pembelaan terhadap dirinya sendiri. "Tapi setidaknya aku bisa membantu."

"Sudahlah. Aku tidak membutuhkannya." Ancala berbalik. "Kalian, jangan banyak bicara atau kita akan ketahuan."

Gegana memilih bungkam dan menuruti perkataan Ancala. Begitupun dengan Samudera. Mereka bersama-sama menyatukan kekuatan masing-masing guna membuka pintu tersebut. Akan tetapi, pintu itu berdiam diri dengan tenang di tempatnya. Tenaga ketiganya yang telah disatukan tidak memberikan efek apa pun pada pintu tersebut. Mereka tidak bisa menggeser posisi pintu barang sesenti saja.

"Sial! Mengapa pintu itu tidak bisa digerakkan." Ancala mengumpat kesal sambil memukul keras pintu tersebut. Pukulan itu membuat pintu bergetar.

"Apakah pintunya akan terbuka?" Rembulan bertanya penasaran.

Pintu itu bergetar semakin kuat. Ukiran yang terbuat dari akar yang menghiasi pintu itu tiba-tiba saja bergerak dan langsung menjerat Ancala yang berada di dekatnya.

Gegana dan Samudera mencoba melepaskan Ancala dari akar yang menjerat tubuhnya. Sayangnya, akar tersebut juga menjerat keduanya. Bumantara dan yang lain langsung membantu ketiganya. Akan tetapi, semakin keras mereka memberontak dan mencoba melepaskan akar tersebut, jeratnya semakin kuat dan menyesakkan.

"Usaha kalian akan sia-sia. Tanpa seizin kepala sekolah, kalian tidak akan bisa meninggalkan akademi dan pulau ini."

Suara seseorang refleks membuat ketujuh remaja itu menoleh ke sumber suara. Terlihat Patra berjalan mendekat ke arah mereka dengan tangan yang terlipat di depan dada.

"Tapi kami tidak ingin berada di sini. Tempat kami bukanlah di sini." Mentari berucap berani di depan pemuda tanpa ekspresi itu.

"Saya tahu Nona dan teman-teman Nona tidak ingin berada di sini. Akan tetapi, saya tidak bisa membantu Nona meninggalkan akademi tanpa seizin Tuan Sirius. Saya memilih Nona dan semua yang ada di sini bukan tanpa alasan. Kalian adalah calon-calon siswa yang akan menyelamatkan akademi, termasuk Graxland," cetus Patra lagi memberikan penjelasan.

Kening Mentari mengkerut. "Kenapa kami harus melakukan sesuatu yang tidak memberikan keuntungan bagi kami?"

"Saya akan memberitahu rahasia kecil pada Nona dan semuanya. Bahwa Seppera Academy merupakan jantung Graxland. Jika akademi ini tidak mengikuti dan memenangkan turnamen, maka tidak ada siswa baru yang masuk ke akademi. Kalian bertujuh tentunya tidak akan bisa pulang dan akan menjadi siswa abadi akademi," tukas Patra lagi. Biasanya, pria itu tidak akan berbicara banyak, tetapi kali ini ia harus melakukannya, guna menumbuhkan keyakinan dalam hati ketujuh remaja itu.

Bumantara maju beberapa langkah dan berhenti tepat di samping Mentari. "Jadi, tidak ada pilihan selain menjadi siswa akademi dan mengikuti turnamen itu?" tanyanya berani setelah memantapkan hati.

Patra mengangguk. "Benar, Tuan," jawabnya singkat.

"Mengenai kekuatan, apakah kami akan menggunakannya sesuai dengan yang tergambar dalam lampu itu?" Bumantara yang tidak bisa menyingkirkan gambaran dalam lampu mengenai dirinya memilih bertanya pada Patra.

"Lampu itu hanya memberikan gambaran. Penggunaannya tergantung sang pemilik. Tuan tenang saja, akan ada guru-guru kompeten yang akan mengajarkan Tuan dan Nona untuk mengendalikan kekuatan itu."

Penjelasan Patra dapat membuat Bumantara menghela napas lega. Ia takut jika gambaran mengenai dirinya yang merenggut nyawa orang lain akan menjadi kenyataan.

"Tunggu. Kenapa kau terlihat setuju menjadi siswa akademi dan mengikuti turnamen itu?" Mentari bertanya sambil mendorong bahu Bumantara.

"Ya, kita harus mengikuti turnamen itu." Bumantara menjawab yakin.

"Hah, kau gila? Menurutmu kita bisa memenangkan turnamen itu? Kita adalah seorang atlet. Jika itu turnamen olahraga, maka tidak masalah, karena kita pasti akan memenangkannya dengan mudah, tapi turnamen ini berbeda. Menggunakan kekuatan yang kita sendiri tidak tahu jika kekuatan itu ada dalam diri kita."

"Aku pun tidak mau, tapi kita tidak memiliki pilihan lain, Mentari."

Mentari terbahak. "Selalu ada cara lain," katanya.

"Sayangnya tidak." Patra memupuskan harapan yang tertanam dalam diri Mentari. "Tidak ada pilihan lain, Nona Mentari."

"Rembulan, Pijar, menurut kalian bagaimana? Kalian memilih mengikuti turnamen itu atau pergi meninggalkan tempat ini?"

Kedua gadis itu saling tatap satu sama lain. "Tentunya aku ingin pulang, tapi sepertinya memang tidak ada pilihan lain. Aku setuju dengan Bumantara." Rembulan membuat keputusan.

"Kau sendiri, Pijar?"

Pijar bergeming di tempatnya. Ia menggaruk jarinya dengan jari yang lain sambil menggigit bibir bawah.

"Akar itu akan terus menjerat teman kalian sampai kehabisan oksigen. Katakan jika kalian setuju mengikuti turnamen, maka teman kalian akan selamat. Jika tidak, bukan hanya mereka bertiga yang kehilangan nyawa, tetapi kalian juga."

Bersambung...

Hiraeth [TERBIT] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang