Prolog • bagian pertama

6 0 0
                                    

SUARA sirene ambulans terdengar mengaung di udara jalanan raya Kota Jarka yang saat itu amat sangat penuh dengan kendaraan dan umat manusia.

Perlahan tapi pasti, sang ambulans yang tampak terburu-buru dengan keadaan daruratnya itu membelah jalanan penuh yang kini mulai terlihat longgar karena kemauan para pengendara untuk menepi.

Setelah melewati ribuan meter perjalanan, ambulans itu mulai masuk ke wilayah Sekolah Menengah Atas ter-elite di kota itu.

Sesaat sebelum melewati gerbang besar sekolah itu, dua petugas yang berjaga membukakannya dengan kecepatan kilat.

Begitu tiba di lobi, rem kendaraan itu dipijak sang supir. Kendaraan berwarna putih itu pun berhenti dengan suara sirene yang masih menyala.

Keramaian yang memang sudah ada sejak sebelum ambulans itu datang bertambah besar ketika pintu belakang ambulans terbuka dan mengeluarkan dua petugas medis bersama dengan tandu keluar dari sana.

Dari depan, di pintu samping kemudi juga keluar seorang petugas yang buru-buru mengoordinasi kejadian dengan pihak sekolah yang berwenang.

Sementara itu, dua petugas lainnya dibimbing oleh pihak sekolah lain untuk segera menuju tempat kejadian yang membutuhkan penanganan darurat.

Di sebuah halaman sekolah dengan gedung rooftop di sampingnya, para penghuni sekolah berkumpul demi menyaksikan kejadian horror yang baru saja menimpa euforia lingkungan mereka.

"Minggir, minggir! Yang tidak berkepentingan diharap ke belakang!"

Histeria dan bincang-bincang mengenai ketakutan yang baru saja terjadi menguar di telinga dua petugas medis yang baru saja tiba.

Mereka langsung berjongkok saat berhasil melihat seorang siswi yang sedang terkapar di atas konblok-satu-satunya hal yang menjadi sorot perhatian.

Siswi dengan name tag 'Alisa Rahma' yang terkapar pingsan di atas halaman sekolah itu segera ditangani oleh dua petugas medis. Mereka memasangkan alat-alat darurat sebelum akhirnya memindahkan tubuhnya ke atas tandu.

Para penghuni sekolah yang mengerumuni titik di mana 'Alisa Rahma' terkapar tadi segera mengikuti dua petugas medis yang membawa sang gadis pergi menuju lobi.

Namun, pergerakan mereka berhasil dihalangi oleh beberapa pekerja sekolah yang memang diberi tanggungan untuk itu.

"Bagaimana keadaannya? Apakah masih memungkinkan?" tanya petugas yang sejak tadi berada di lobi pada dua rekannya ketika mereka sudah memasukkan sang pasien ke dalam mobil.

"Cukup parah. Dia kehilangan banyak darah."

"Karena siswi ini belum mempunyai identitas, saya akan mencoba mengambil darahnya dan mencari tahu golongan darahnya." Ujar salah satu petugas sambil memasang lateks di tangan dan menyiapkan jarum suntik.

"Setelah tahu nanti, tolong sampaikan pada pihak rumah sakit untuk menyiapkan kantong darah dan tempat di UGD agar bisa melakukan transfusi," lanjutnya.

"Baik, kalau begitu kita berangkat ke rumah sakit sekarang," jawab sang petugas yang masih berdiri di luar mobil. "Saya minta satu pihak dari sekolah untuk ikut saya."

Gerakan mereka dilakukan dengan cepat hingga mesin mobil ambulans akhirnya menyala dan membawanya untuk pergi dari sana.

"Gimana, San? Apa sudah keluar hasilnya?"

Petugas yang ditanya-bertugas memeriksa golongan darah pasien itu-terlihat cukup kaget ketika matanya sudah berhasil melihat hasil dari pekerjaan yang sudah ia selesaikan.

Ia meneguk ludahnya susah payah dengan ekspresi muka yang tidak berubah. Shock.

"Sandri! Ada apa?!" tanya petugas lain yang berada di sampingnya-sedang mengerjakan penanganan lain pada pasien.

Petugas yang dipanggil dengan nama 'Sandri' itu mengerjap.

"Kak, siswi ini..."

"Kenapa dengan murid saya?!" tanya seorang guru wanita dari sekolah tadi-diketahui wali kelas sang pasien-dengan wajah panik.

"Golongan darah pasien ini sangat langka, Bu. Jumlah pemiliknya di seluruh dunia bisa dihitung dengan jari."

Prolog: bersambung...

IRONATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang