03. Jiwa Lain

10 0 0
                                    

AKU masih terdiam beberapa saat-setelah berhasil menemukan tubuh yang kukira diriku itu-hingga tangan appa dengan tiba-tiba merangkulku dan membawa tubuhku ke pelukannya.

Aku yang masih belum mengerti apa pun hanya bisa terdiam pasrah dengan wajah bingung karena kepalaku masih mencerna semuanya.

Namun, getaran kesedihan appa seolah menyalur padaku melalui dada kami yang bertemu karena pelukan yang dilakukan appa padaku. Hal itu tentu membuat jantungku ikut berdenyut sedih.

Perlahan tanpa kusadari, air mataku ke luar melalui pelupuk mata. Mataku yang sebelumnya tak berkedip sama sekali terasa bergetar hingga suara isakan berhasil ke luar dari tenggorokan melalui mulutku.

Aku ingin menyangkal ini semua.

Apa-apaan semua ini? Kenapa semua terasa begitu rumit dan membingungkan?

Apa maksud ini semua?

Mengapa tiba-tiba diriku terbelah menjadi dua dan salah satunya tengah terbaring di atas bankar dengan keadaan yang terlihat menyedihkan?

Kepalanya diperban penuh, tangan dan kakinya pun juga begitu.

Alat-alat medis yang tak banyak kuketahui seolah sedang membantunya untuk bertahan hidup.

Apakah ini semua nyata?

Apakah yang kulihat ini betul-betul seseorang lain yang menyerupai diriku?

Pasalnya, jika aku mati dan yang tertidur adalah ragaku, appa yang detak jantungnya masih bisa kurasakan tidak mungkin bisa menyentuhku begini.

Lantas, apa ini?

"Appa, kenapa... Irona..."

"Maafkan appa, Irona."

Oh, aku sungguh tidak menyukai bagian situasi ini. Kalimat appa yang terdengar rintih seperti ini membuatku makin lemah dan merasa sedih.

Aku lebih suka dan lebih memilih saat appa memberi kalimat panjang padaku dengan kekhawatiran dan kecemasan ditemani wajahnya yang kaku dan galak.

Aku tidak suka kalimat appa terlalu pendek begini dan terasa begitu membosankan.

"Irona tidak mengerti, appa."

Sekeras apa pun aku mencoba mencerna semuanya, aku masih belum paham.

Titik awal yang bisa aku pikirkan hanyalah saudari kembarku yang sudah meninggal ketika masih bayi.

Ya, aku mengetahui benar bahwa aku mempunyai saudari kembar yang sudah meninggal sejak kami bayi belum genap satu minggu.

Bahkan, kedua orangtuaku sering membawaku untuk mengunjungi makam saudari kembarku.

Jadi, apakah maksudnya saudari kembarku ini sebetulnya tidak benar-benar mati?

Atau, apakah dia hidup kembali dalam keadaan yang menyedihkan seperti ini?

"Appa!" aku menyentak ayahku sambil melepaskan pelukan kami.

Rasanya aku sudah mencapai puncak dan pikiranku sudah terlalu penuh.

"Irona tidak tahu apa yang terjadi, jadi mohon untuk jelaskan semua ini pada Irona perlahan-lahan."

Entahlah. Hal yang bisa aku lakukan hanyalah mengatakan sesuatu yang memang aku butuhkan dan aku perlukan sejak lama.

Aku butuh mengeluarkan semua pertanyaan yang berkeliling di kepalaku.

Aku butuh mendapatkan jawaban sejak kami belum pulang ke Indonesia.

IRONATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang