SEPANJANG appa bercerita, aku hanya terdiam sambil beberapa kali menahan atau menghela napas.
Hal-hal yang aku dengar dari mulut appa begitu membuatku terkejut dan benar-benar tak bisa berpikir jernih. Bisa-bisanya kisah yang diceritakan oleh appa tentang saudari kembarku itu terjadi di kehidupan nyata?
Lebih-lebih lagi, secara tidak langsung, kisah aneh nan menyedihkan itu berkaitan juga dengan kehidupanku.
Pada intinya, saudari kembarku yang dinamai Inara oleh kedua orangtuaku saat masih bayi itu rupanya dulu tidak meninggal. Appa dan eomma-ku kehilangan Inara yang diculik oleh sekelompok preman yang mengincar harta appa-ku.
Saat itu, appa memang sudah kaya karena telah mewarisi perusahaan kakekku. Namun, keluarga kecilnya bersama eomma belum merekrut beberapa pegawai pribadi dan bodyguard atau bahkan sopir seperti sekarang.
"Waktu itu, appa dan eomma sedang menyiapkan photoshoot untuk kalian. Setelah photoshoot dilakukan, Inara dibawa pergi oleh pria-pria besar yang kami ketahui setelah mereka sudah berada di jarak yang begitu jauh."
Kulihat mata appa begitu sendu saat menceritakan kejadian itu.
"Pada saat kejadian, eomma kamu pingsan tak berdaya. Appa dalam keadaan dilema harus bagaimana lantaran appa sendirian di sana. Tidak ada siapa pun yang menemani."
Hatiku berdenyut sedih mendengar penuturan itu. Tak bisa kubayangkan bagaimana perasaan kedua orangtuaku saat mengalami hal naas itu.
"Setelah beberapa hari, kami berhasil berkomunikasi dengan sekelompok preman itu dan bersedia menebus Inara. Namun, takdir sepertinya tak membolehkan kami untuk membesarkan Inara."
Saat mendengar itu, mataku membesar bingung.
"Para preman itu kehilangan Inara saat mereka sedang lengah beristirahat. Ketika appa sudah siap bersama beberapa bodyguard yang appa rekrut mendatangi markas mereka, mereka justru mengatakan bahwa mereka kehilangan saudarimu."
"Kami mencoba mencari Inara dengan bantuan polisi mulai saat itu. Kami menempel poster dan bahkan mengumumkan berita itu di televisi mengingat reputasi dan jabatan yang appa miliki. Namun, hingga beberapa minggu pun kami tak dapat menemukan Inara."
Appa tersenyum pahit padaku.
"Seperti yang kamu pikirkan, Irona. Kami mengikhlaskan Inara dan menganggap dia sudah meninggal. Perasaan bersalah tak berhenti menghantui kepala appa dan eomma. Namun, kami tak mau dianggap sebagai orangtua buruk oleh putri kami yang masih tersisa."
Aku menahan napasku, tak ingin mengeluarkan air mata demi kalimat appa yang baru saja terucap.
"Kami tak mau membagikan luka mendalam kepada saudari Inara, yaitu kamu, Irona. Kami tak mau kisah ini terngiang-ngiang dan menemani kamu tumbuh. Kami takut akan ada hal buruk jika kamu tahu ini semua."
Tangisanku pecah karena kalimat appa yang mungkin bagi orang lain terdengar biasa saja. Aku tak bisa menahan isakan tangisku ketika appa kemudian menundukkan kepalanya dan meminta maaf padaku.
Apa-apaan appa-ku itu? Mengapa jadi beliau yang meminta maaf padaku?
"Appa, cukup. Irona baik-baik saja, jadi appa tak perlu meminta maaf pada Irona."
"Bagaimana pun juga, appa dan eomma sudah berbohong kepada Irona. Kami berdua pantas dinyatakan salah. Apalagi, bukannya mencoba memperbaiki, kami justru kabur ke luar negeri karena tak mau teringat kejadian ini jika berada di Indonesia."
KAMU SEDANG MEMBACA
IRONA
Fiction généralePenyesalan Irona karena ketidaktahuannya tentang dunianya yang nyata membuat dia harus terseret menjadi bayangan saudarinya yang selama ini tidak dia duga. 'Irona Lim' Gadis cantik dari keluarga kaya yang sebelumnya tinggal di luar negeri, kini haru...