IRONA

Prolog • bagian kedua

AKU sedang memilah dan memilih rentetan pakaian yang ada di depanku saat ponselku yang ada di dalam tas tiba-tiba berdering.

Meski sedikit kesal karena gangguan datang di saat diriku sedang memperbaiki suasana hati, mau tak mau tanganku harus mengambil benda pipih milikku itu dan mengangkat panggilan telepon yang masuk.

"Hello?"

"Hello, Miss. Good afternoon, we're from Indonesia and we need to tell and ask you about something urgent."

"You can use bahasa. Hal penting apa ya?" tanyaku sinis-curiga jika panggilan ini adalah penipuan.

"Baik. Kami dari Rumah Sakit Ardaksana di Kota Jarka, Indonesia. Kepentingan kami menelepon atas nama yayasan adalah kami ingin meminta bantuan pada Anda selaku pemilik golongan darah B rhesus -15 untuk melakukan transfusi pada pasien darurat kami."

Aku terdiam. Apakah ini penipuan?

Sesaat aku berpikir. Namun, sepertinya itu waktu yang terlalu lama bagi lawan bicaraku di telepon.

"Hello, Miss? Kami butuh konfirmasi segera dari Anda. Untuk biaya pesawat, yayasan kami siap menanggungnya."

Hah? Apa katanya?

Kenapa perkataannya seolah-olah merendahkanku dan menganggap aku tidak mampu membeli tiket pesawat untuk pergi ke negara kelahiranku?

Hah, mengapa aku menjadi emosi perihal tersinggung akan kalimat lawan bicaraku ini?

Sebelum aku membalas perkataan wanita yang bicara denganku di telepon, seorang pelayan dari toko di mall yang aku kunjungi mendatangiku.

Dia membawakan dua buah barang berupa celana jeans ripped unlimited dan crop tee berwarna hitam.

Ah, bisa-bisanya aku lupa.

Sebelum semua kejadian ini berlangsung, aku telah meminta tolong pada pelayan store untuk mencarikan size kebutuhanku terhadap dua barang yang aku suka.

Tanpa berpikir panjang dan mengatakan beberapa patah kata lagi, aku refleks mematikan sambungan telepon dan tersenyum pada pelayan store yang segera memberikan barang permintaanku.

Aku tak tahu, tindakan cerobohku sekarang ini merupakan sebuah bencana yang akan mendatangiku di kemudian waktu.

•••