"Ssshh-a-ah!" desahan seorang pemuda akibat rasa sakit yang sedang diobati telah mendominasi ruangan. Ganza, dia ternyata terluka saat berusaha kabur dari Noma dan kawan-kawan. Kini malah adik kandung dari si pelaku yang mengobatinya.
"Kak Bara bisa sendiri, kan?"
"Bisa. Tenang, Mavis. Urusin aja bayi besar depan kamu itu. Dia kayanya suka banget dimanja," ujar Bara yang berhasil mendapat lemparan bantal sofa oleh Ganza.
Mavis tersenyum. Sangat manis.
Gadis itu sadar jika sedang diperhatikan seseorang, namun ia berlagak seakan tidak mengetahui apa-apa.
"Baru bangun tidur atau belum tidur?" tanya Ganza tiba-tiba ketika Mavis mengoleskan salep pada lukanya. Pertanyaan itu juga menarik atensi Bara. Ia ingin menyaksikan si Sabiru yang sedang memproses kehadiran si gadis. Tampak ia belum bisa menetralkan diri, Ganza masih mencari atensi penuh dari Mavis. Cih, anak muda.
Gadis itu juga tidak langsung menjawab. Ia masih sibuk mengobati luka seakan tidak peduli jika si pemuda sedang menunggu. Itu membuat si Hiresa terbahak-bahak. Tanpa ia duga, Ganza dikacangi oleh Mavis.
Gadis itu juga ikut tertawa kecil sepaham dengan Bara. "Sudah bagun, Za," jawabnya kemudian.
Bara melempar balik bantal sofa yang Ganza lempar tadi. "Matanya biasa aja, sih, Za. Mavis jadi enggak enak mau natap balik. Enggak nyaman, tuh!"
Ganza baru sadar, sejak kapan ia malah menatap lekat gadis cantik yang ada di depannya sekarang ini? Kini giliran Ganza yang membuang tatapannya. Gengsi.
"Btw, Mavis kenal sama Ganza dari kapan?" tanya Bara kepada gadis itu yang sedang merapikan kotak P3K-nya.
"Ganza kenal sama aku baru hari ini, ya, Za? Tapi kalau aku sendiri udah tau Ganza dari SMA. Dia belain aku yang habis ditampar sama Noma," jelas Mavis yang membuat kerutan di dahi laki-laki yang dibicarakan.
"Aku tahu kamu juga udah dari lama, Mavis. Sama kaya kamu, dari SMA," Ganza menyanggah.
"Tapi baru hari ini kamu tahu nama aku."
Si Sabiru terdiam. Memang benar yang diucapkan gadis itu. Bara dibuat tertawa kencang sekali lagi. Lucu sekali mereka berdua saling menyanggah. Ganza tidak mau mengalah.
"Sama aja, Mavis."
"Kalau sama, kamu enggak akan natap aku selekat tadi, Za. Kamu enggak bisa lepas pandangan karena kamu enggak yakin siapa aku bisa kenal sama kamu."
Lagi-lagi terdiam. Perut Bara mungkin akan keram sebentar lagi. Diamnya Ganza itu karena yang dikatakan Mavis adalah benar. Ia kalah dan tidak bisa menyanggah lagi. Ganza pun membuang pandangan.
"Intinya sama aja," ujarnya pundung.
"Tapi udah enam tahun, ya? Pasti ada alasan di balik kamu enggak lupa sama Ganza."
Bara kembali bertanya kepada Mavis. Satu yang harus kalian ingat, Bara Hiresa adalah ahli para wanita. Dia jelas tahu bagaimana memperlakukan seorang gadis. Secara natural dia menunjukkan sikap-sikap yang mungkin akan disukai oleh seorang puan.
"Ya, karena itu tadi, Ganza udah belain aku."
"Selain itu? Enam tahun bukan waktu yang sebentar, Mavis. Apalagi kamu enggak pernah ketemu sama Ganza selama ini."
Mavis menoleh pada pemuda di depannya. Ganza juga menatapnya dengan tatapan yang menuntut sebuah jawaban. Laki-laki itu sebenarnya juga sama penasarannya dengan Bara.
"Cuma perasaan terima kasih yang belum sempat tersampaikan. Hingga hari ini aku belum bilang makasih sama dia tentang kejadian lampau itu. ... Makasih, ya, Za."

KAMU SEDANG MEMBACA
EXTRA;VAGANZA || Park Sunghoon
Azione"Tujuh kali jatuh, delapan kali bangkit." Perjalanan Ganza menemukan pelaku di balik insiden menyakitkan empat tahun yang lalu. Tepat di hari ulang tahunnya, laki-laki itu menemukan sang ibu tergeletak sudah tak bernyawa. Terpukul hingga bertahun-ta...