pages turned, bridges burned

1.1K 73 9
                                    

Summary : Kaizo menyiapkan diri untuk momen ini, entah sudah berapa lama. Bertahun-tahun usaha dan penantian, akhrnya akan terbayar. Benarkah hasilnya sepadan? (Warning inside).

Warning : headcanon, sedikit merujuk pada adegan di chapter bonus komik seri Galaksi volume 7, mengandung adegan kekerasan.

.

.

.

"Abang, di mana ibu?"

Kaizo ingat, saat kecil Fang begitu cerewet. Kali pertama mereka bermalam di markas Tempur-A, Fang tidur lelap seperti bayi, berkebalikan dengan Kaizo yang bahkan tidak bisa memejamkan mata. Keesokan hari, Fang tidak berhenti mengoceh dan bertanya sampai kuping kaizo sakit.

"Di mana ibu? Di mana ayah?"

"Abang, kapan kita akan pulang?"

Awalnya, Kaizo menjawab dengan sabar. Ia berusaha menjelaskan, meski sulit karena Fang masih begitu kecil untuk bisa memahami apa yang terjadi.

"Kita tidak akan pulang untuk sementara. Ibu dan ayah akan segera menyusul ke sini. Pang yang sabar, ya?"

Pertanyaan Fang masih seringkali berulang, dan Kaizo juga hanya bisa memberi jawaban yang sama. Ia tidak punya jawaban yang lebih baik, dan harapannya juga semakin menipis dengan kabar-kabar angin yang dicuri-dengarnya dari para prajurit. Tidak ada yang memberi kabar apapun secara langsung padanya. Tidakkah mereka mengerti rasa frustasinya?

"Abang, ayo pulang. Pang tidak suka di sini. Orang-orangnya seram."

"Pang mau ibu. Pang mau ibu!"

Kaizo akhirnya kehabisan kesabaran. Ia gusar setengah mati karena tidak mendapat kepastian apa-apa mengenai orang tuanya meski terus mendesak, dan rengekan Fang kecil menghancurkan sisa pertahanan Kaizo. Sebuah tamparan dilayangkan hari itu, dan tubuh mungil Fang terhempas sampai menabrak ranjang tingkat tempat mereka tidur.

Tangisan Fang berhenti. Matanya yang berair membulat. Untuk pertama kalinya, Kaizo melihat adiknya menatapnya dalam sorot ketakutan. Fang yang biasanya menatap Kaizo dengan sorot kagum dan penuh sayang, Fang yang selalu bermanja-manja dan bahkan tidak segan mengusili Kaizo karena tahu sang kakak tak akan pernah menyakitinya, kini beringsut mundur dengan tubuh gemetar saat Kaizo berjongkok di depannya.

"Kita tidak akan pulang," Kaizo berujar. Suaranya terdengar dingin dan tanpa emosi, tapi ia hanya letih, sungguh. "Ibu dan ayah tidak akan kemari. Mereka sudah pergi. Hanya ada kau dan aku sekarang. Mengerti?"

Fang tidak menyahut. Adiknya itu menangis tanpa suara, tubuh mungilnya bergetar.

Kaizo menghela napas. Ia duduk bersila, menarik Fang ke dalam pelukannya. Kaizo bisa merasakan ketegangan dari Fang yang didekapnya, tapi ia tidak menarik diri. Sekali lagi, sekali ini saja.

Kaizo tidak melepaskan pelukan, sampai-sampai bajunya basah oleh air mata Fang. Ia tetap duduk di sana sepanjang malam, sampai adiknya tertidur karena lelah menangis. Kaizo tidak pernah punya kesempatan untuk minta maaf atas apa yang dilakukannya, tapi hari itu, sesuatu di antara mereka retak.

"Kaizo, jaga diri dan adikmu baik-baik."

Kaizo membaringkan Fang di ranjang dan menyelimutinya. Wajah Fang sembab oleh air mata, dan anehnya Kaizo tidak merasa begitu menyesal. Sebuah komet lewat di luar jendela, begitu dekat sampai Kaizo merasa jika menjulurkan tangan keluar, ia akan bisa menyentuhnya. Tangannya mungkin akan terbakar, tapi itu akan sepadan. Tidak ada rasa sakit yang datang dengan sia-sia. Kaizo akan belajar, begitu juga dengan Fang.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 06, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

from sprinkler splashes, to fireplace ashesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang