for what it's worth

1.7K 109 4
                                    

Summary : Kaizo bersumpah akan melindungi yang paling berharga baginya. Meski harus menggunakan cara tak menyenangkan sekalipun. /Untuk #Siblingisasi

Warnings : semi-canon, set sebelum Fang ditugaskan ke bumi, OOC, minim dialog, miss typo

Untuk #Siblingisasi

.

.

.

Kaizo tak akan pernah melupakan hari saat semuanya bermula.

Hari itu sama seperti hari-hari normal yang lainnya. Ia pergi ke sekolah, mengikuti berbagai pelatihan untuk menjadi seorang penjelajah antariksa. Itu cita-citanya. Tak peduli berapa kali pun sang ibu melarang, Kaizo tetap bersikeras. Suatu hari nanti ia akan menjadi seorang pengembara galaksi yang dikenal oleh semua orang. Ia akan menjadi kapten dari pesawat angkasanya sendiri, dan ia akan memiliki tim yang akan menemaninya berkelana dari satu galaksi ke galaksi lainnya.

Mimpinya itu terasa begitu menyenangkan setiap kali ia membayangkannya, dan Kaizo memutuskan ia tak akan pernah melepas mimpinya.

Orangtuanya adalah ilmuwan. Mereka merakit dan menciptakan benda-benda berteknologi canggih yang kemudian akan digunakan pemerintah untuk mengatur setiap sistem di kota mereka. Perdagangan, transportasi, pertahanan, dan bahkan alat-alat tempur paling mutakhir diciptakan sendiri oleh orangtuanya.

Saat kecil Kaizo sering merengek minta dibuatkan senjata tempur untuknya sendiri. Pistol laser super canggih yang bisa menembak objek dengan radius ratusan meter, atau jam kuasa yang membuatnya bisa memiliki berbagai kekuatan super untuk bertempur dengan musuh. Tapi tentu saja orangtuanya menolak. Kaizo masih terlalu muda untuk mengenal senjata-senjata tempur. Ia harus lebih banyak berlatih dan membuktikan bahwa dirinya pantas memiliki senjata-senjata itu.

Sore itu Kaizo baru saja pulang dari latihan tempurnya, dan yang menyambutnya di rumah hanya si kecil Pang.

"A-bang! A-bang!"

Pang berlari dengan kaki-kaki kecilnya, nyaris tersandung karpet yang bergelombang tak rata dan Kaizo buru-buru menangkapnya sebelum terjatuh.

"Abang 'kan sudah bilang jangan lari-lari, Pang," tegur Kaizo. Ia mencubit gemas pipi gembul sang adik, dan Pang tertawa senang.

Kaizo menggendong Pang dan melangkah ke arah dapur. Biasanya sang ibu tengah memasak makan malam pada jam segini, namun saat ia tiba di sana tak ada siapa-siapa.

"Ibu mana, Pang?" tanya Kaizo pada adik kecilnya.

"Pang 'ga tau," sahut Pang, menggeleng-gelengkan kepalanya.

Kaizo berjalan memeriksa seisi rumah, tapi tetap tak menemukan siapa pun. Ke mana orangtuanya pergi? Suara-suara ribut di luar mengusik perhatian Kaizo. Ia melangkah menghampiri jendela ruang depan untuk mengintip, namun sebelum langkahnya sempat mencapai jendela, suara ledakan keras terdengar dan dinding-dinding rumahnya bergetar.

Secepat kilat Kaizo merunduk dan berlindung di balik sofa. Ia memeluk Pang erat, berusaha melindunginya saat rumah mereka meledak hancur menjadi serpihan.

Pang menangis dalam dekapannya, sementara Kaizo terbatuk-batuk berusaha menyingkirkan debu yang menghalangi pandangannya. Kepalanya terasa pusing dan ia menyadari adanya cairan hangat yang mengalir dari pelipis kirinya. Kaizo terus memeluk Pang erat tanpa berani bergerak dari tempatnya, takut akan ada serangan lain yang datang.

Kaizo mendengar langkah-langkah kaki bergegas yang mendekat. Ia melihat siluet samar kedua orangtuanya melalui pandangannya yang mulai memburam.

"Kaizo, cepat lari! Bawa Fang bersamamu, cepat!"

from sprinkler splashes, to fireplace ashesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang