iridescent

783 55 1
                                    

Summary : Kaizo telah menginjak usia tujuh belas saat ia akhirnya mengerti, dunia yang kejam tak akan pernah berbelas kasih. /Kaizo-centric. Kaizo POV. Oneshot.

"Iridescent"

A Fanfiction by Fanlady

Warning (s) : Kaizo-centric, study chara (maybe?), time skip, minim dialog dan hampir sepenuhnya narasi. Disarankan dengerin lagu Iridescent dari Linkin Park dan The Nights dari Avicii biar lebih ngefeel bacanya uwu

Untuk ulang tahun Kaizo (yang terlambat). Belated Happy Birthday, My Dear Captain.

.

.

"He said, 'one day you'll leave this world behind. So live a life you will remember."

The Nights - Avicii

.

Memori pertama Kaizo tentang ulang tahun adalah saat ia berumur empat tahun. Ayah dan ibunya menyiapkan kejutan, kue ulang tahun super besar yang berlumur krim dan saus blueberry, tak lupa taburan lobak merah kesukaannya.

Kaizo kecil melompat riang, begitu antusias melihat kue ulang tahunnya. Terlalu bersemangat sampai berjingkrak-jingkrak ceria mengelilingi ruang keluarga, tentu saja menarik senyum dan tawa dari kedua orangtuanya. Namun saking begitu gembira, Kaizo sampai tak sengaja tersandung di tengah selebrasinya. Ia jatuh dengan wajah lebih dulu, tepat menghantam kuenya.

Perayaan bahagia segera saja berubah menjadi jerit tangis begitu Kaizo mendapati kuenya hancur berantakan, karena ulahnya sendiri. Ia menangis menjerit-jerit selama hampir sejam penuh, duduk di karpet dengan wajah dan pakaian berlumuran krim. Ibunya berusaha membujuk dengan berjanji akan segera membuatkan kue yang baru, tapi tidak berhasil meredakan tangis Kaizo. Sampai sang ayah berinisiatif menyuruh salah satu pelayan membelikan kue baru dan membawakannya kurang dari dua puluh menit kemudian, barulah Kaizo berhenti menangis.

Wajah gembil Kaizo bersimbah air mata, juga krim kocok yang berlepotan sana-sini, tapi senyum lebarnya terulas. Ia menatap kue barunya —yang tak sebesar kue pertama, tapi Kaizo tetap menyukainya— dengan mata berbinar. Kaizo —dengan gaya bicara yang masih cadel dan berantakan— ikut bernyanyi bersama ayah dan ibunya sebelum meniup semua lilin di atas kuenya dalam satu hembusan. Ciuman di pipi dari sang ibu, juga usapan penuh sayang di rambutnya yang acak-acakan dari ayahnya menambah lebar senyum Kaizo yang tampak begitu berpuas diri.

Selamat ulang tahun yang keempat, Kaizo.

.

.

.

Kaizo mendapat pedang pertamanya di umur tujuh tahun. Bukan pedang mainan seperti yang sering dilihatnya dimainkan oleh teman-teman sebayanya, tapi pedang sungguhan. Pedang tajam dan berkilau, terbuat dari material kokoh tapi tetap ringan dan terasa begitu pas di genggamannya.

Ibunya tidak begitu setuju. Kaizo masih terlalu kecil untuk menggunakan pedang sungguhan, katanya. Namun sang ayah bersikeras ia harus mulai berlatih menggunakan senjata sedini mungkin. Saat itu Kaizo tak begitu mengerti alasannya, tapi ia tahu sang ayah tak pernah melakukan sesuatu tanpa pertimbangan matang. Jadi ia mempercayai keyakinan ayahnya, seperti sang ayah percaya dan yakin padanya.

Percobaan pertamanyanya berlatih dengan pedang tidak begitu mulus. Meski pedang itu seringan bulu, Kaizo tetap kesulitan menggunakannya. Ia mengayun dengan kikuk dan terlalu serampangan, hingga (tak sengaja) hampir memutus lengan sang ayah yang membantunya berlatih.

from sprinkler splashes, to fireplace ashesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang