[8] Bisakah Kau Melihatku?

11 2 0
                                    

[PART 8]
Bisakah Kau Melihatku?

________________________________________

Candra memasuki kelas dengan langkah tegasnya. Kali ini ia tiba agak siang untuk melihat apakah jadwal piket berjalan baik tanpa pantauannya--seperti hari biasanya--atau tidak. Ranselnya terlihat berat karena dititipi buku paket mata pelajaran oleh seorang guru yang hari ini tidak bisa masuk mengajar. Oleh karenanya, dengan sangat senang hati Candra mengemban tugas untuk menggantikan kedua guru itu untuk menulis di papan tulis serta menjelaskan sedikit materi pelajaran tersebut.

Amarah Candra mulai terpancing saat menginjakan kakinya di teras depan kelas yang tidak dipel. Ia menghela napas, berusaha menahan kesal, kemudian membuka daun pintu kelas.

Candra menyaksikan beberapa anak laki-laki nakal sedang asik bercanda entah memperbincangkan apa. Di jam sepagi ini--jam 07.00--baju putih seragam mereka sudah sedikit berkeringat karena sebelumnya mereka bermain sepak bola. Kelompok penggosip sedang menjalani rapat pagi mereka, mata Candra agak sakit ketika melihat mereka, karena pakaian mereka selalu ketat dan wajah mereka sedikit mirip ibu-ibu kondangan. Papan tulis penuh dengan coretan, lantai belum disapu karena beberapa sampah plastik bekas jajanan tergeletak sembarangan. Di pojok ruangan, tong sampah masih penuh dengan sampah hari sebelumnya.

Semuanya menyadari presensi Candra tepat setelah seseorang dari mereka kehadiran Candra dan mengucap namanya.

"Eh, ada Candra! Candra masuk ternyata!" seru seorang anak laki-laki dengan suara setengah berbisik.

Dada Candra naik-turun karena ia sudah naik pitam. Ia masih berdiri di ambang pintu. Para penggosip yang duduk di meja tiba-tiba duduk di kursi, beberapa anak laki-laki nakal yang sedang mengobati kegerahannya tiba-tiba berjalan tak tentu arah seakan mencari sesuatu--mereka ialah yang bertugas piket beres-beres hari ini, setelah pandangan Candra mengekori mereka, ternyata yang mereka cari ialah sapu.

Candra melangkah santai menuju jadwal piket yang ditempel di depan kelas.

"Can! Tuh Reza sama Riyan gak piket, malah main bola!" seru Sela yang piket satu kelompok dengan mereka. Sela rupanya telah menyapu kelas tapi hanya bagian jajaran tempat perempuan.

Kening Candra tertekuk lalu berjalan mendekati Reza dan Riyan.

"Kenapa kalian gak piket? Sengaja karena kalian kira aku gak masuk hari ini?!" Candra agak menengadah karena kedua laki-laki di depannya lebih tinggi darinya.

"Iya ini mau nyapu, kelupaan, kirain bukan sekarang piketnya." Riyan beralibi tapi nampak agak bersalah, tangannya memegang sapu. Kemudian ia beranjak untuk mulai menyapu dari belakang kelas. Sedangkan Reza kini sudah duduk di pinggir meja, tak beranjak dan tak sedikitpun tampak rasa bersalah.

"Terus lo kenapa masih diem?!" Bahasa kasar Candra mulai keluar. Sekarang ia mulai merasa tak dihargai.

"Males ah. Lo sukanya nyuruh-nyuruh orang! Bawel banget jadi cewek!" Bom tak kasat mata di dada Candra telah sengaja diledakan oleh Reza.

"Siapa yang nyuruh?! Kita itu masing-masing punya tanggung-jawab buat piket. Gak berat kok, cuma sekali seminggu."

"Tapi gue males nyapu. Kayak babu!"

Seisi kelas mulai memerhatikan perdebatan panas mereka.

"Babu?! Lo tahu kebersihan gak sih?! Kebersihan itu sebagian dari iman. Atau apa emang lo kurang iman, jadi sukanya kotor-kotor?!"

"Halah iman." Reza berdecih menyepelekan.

"Apa susahnya sih, tinggal nyapu. Tuh lihat, Riyan aja nyapu, itu gak akan buat lo hina!"

Mistake [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang