[PART 10]
Romantika Manis Sekularis_________________________________
Suara burung pipit terdengar bersahut-sahutan, bersamaan dengan langit pagi yang mulai membiru muda. Pohon-pohon di sisi lapang bergerak-gerak diembus angin, beberapa daun tuanya berguguran, lantas diserakkan angin hingga beberapa helainya sampai ke tengah lapang sebab angin meniupnya terlalu kencang.
Suara pintu yang tak sengaja dibanting terdengar begitu keras sampai ke penjuru lorong lantai dua bangunan utama sekolah. Candra telah berdiri di balik pintu itu, di kelasnya. Napasnya tersengal-sengal, debar dadanya porak-poranda. Kedua tungkainya menyerah dan tak sanggup untuk tetap menjadi tumpuan badan, Candra roboh lantas terduduk lemas. Gadis itu baru saja diserang takut karena presensi manusia yang eksistensinya belum Candra harapkan di waktu sepagi ini.
Candra terbiasa memandang Aksa di jam istirahat. Di mana matahari sedang ramah-ramahnya menghangatkan hati. Atau tatkala angin dan matahari jam setengah dua belas siang sedang berkolaborasi memperindah eksistensi Aksa untuk lekat dipandang, tepatnya di jadwal pelajaran olahraga Aksa. Di mana Aksa sedang kehausan oksigen karena baru selesai bermain basket sembari mengobrol dengan teman-temannya, sesekali menyugar rambut. Angin nakal meniup-niup rambutnya, serta matahari mencahayai wajah manisnya. Namun, di waktu sepagi kali ini, Candra belum siap untuk menyadari eksistensi Aksa yang ternyata ada di planet bumi. Ditambah malam tadi ia telah berinteraksi dengan Aksa lewat SMS.
Jantungnya kembali berdetak keras tatkala dering pesan mengagetkannya. Ia merogoh ransel lalu membuka kunci layar ponsel. Aksa mengirim pesan, Candra menelan ludah kasar lalu masih dengan debar yang hancurnya mulai mereda, ia membukanya.
Aksa
[Kenapa lari?]
Singkat, padat, dan membuat bingung untuk dibalas. Candra bahagia menerima pesan itu kendati bingung juga harus menjawab apa.
Candra
[Aku gugup, maaf ya Kak kalau tersinggung]
Waktu mulai merangkak, ia segera bangkit untuk kemudian duduk di kursinya. Beberapa siswi mulai berdatangan, dan Candra kembali mulai membangun air muka di depan semua teman sekelasnya seolah ia tidak menyukai siapa pun. Lima menit lagi bel masuk berbunyi. Candra erat memegang ponselnya, takut tak sengaja pemberitahuan balasan pesan dari Aksa tak sengaja terbaca oleh Sela atau siapa pun. Ia senyum-senyum sendiri, mengingat momen sebelumnya, pertemuan dengan Aksa bagaikan bom menyenangkan. Tak lama kemudian Sela memasuki kelas lalu duduk di sampingnya. Candra tersenyum, seolah senyuman itu pancaran rasa senang atas kehadiran Sela. Meskipun sebetulnya Candra sedang menahan bahagia yang meletup-letup dalam dada.
Ponselnya kembali bersuara, sebuah pesan masuk. Candra menoleh pada Sela yang sedang menyiapkan buku catatan. Mereka saling bertatapan. Sela biasa saja, menoleh sebab Candra yang pertama menoleh padanya. Sedangkan Candra, terlalu takut kalau rahasianya terbongkar. Candra membuka ponsel. Sebuah pesan masuk dari Aksa.
"Aku ke toilet dulu ya." Tawa gugup terdengar di akhir kalimat itu. Sela mengernyit tapi akhirnya mengangguk. Candra bangkit lantas gegas menuju toilet.
Ia membuka ponselnya setelah berada di dalam toilet.
Aksa
[Sampai ketemu di rapat OSIS sore nanti ya, Can...]
Pipi Candra bersemu merah setelah membaca pesan itu. Kilas balik momen tadi kembali berputar di kepala, dan Candra tidak bisa menahan diri untuk tidak berjingkrak-jingkrak. Ia melompat-lompat seperti orang yang sedang menonton konser. Dirinya dibungkus sepi, tapi lagu-lagu bahagia berputar di kepalanya. Candra lebih tepatnya seperti sedang kesurupan, lompat sana lompat sini. Candra keluar toilet, dan kini berada di luar dengan keadaan tidak ada seorang pun, karena bel masuk kelas sudah berbunyi.

KAMU SEDANG MEMBACA
Mistake [On Going]
Teen Fiction"Boleh aku meminta sesuatu lagi?" Aksa menggigit bibir bawahnya. Ada kobaran api nafsu pada sepasang netranya tatkala pertanyaan itu mengudara. Kedua ibu jarinya membelai lembut pipi Candra. Debar dada gadis itu kian lama kian tak beraturan. Dilema...