[7] Love But Hate

9 2 2
                                    

[PART 7]
Love But Hate

________________________________________

Cuaca hari Kamis kali ini begitu manis; biru langitnya, serta hangat sinar mataharinya seolah penuh ikhlas mengiringi acara mingguan terkhusus untuk ibu-ibu ini; pengajian sekaligus pasar Kamis. Meskipun niatnya akan ke pengajian, tapi beberapa jiwa pencari diskon para ibu-ibu itu lebih hebat merontanya, sehingga tepat di pertigaan menuju pintu madrasah, langkahnya tiba-tiba berbelok menghampiri pedagang kaki lima---di sepanjang jalan menuju tempat pengajian itu---untuk sekedar mendapatkan panci atau kebutuhan lainnya dengan harga murah. Meskipun begitu, ada pula beberapa ibu-ibu kuat yang tetap lurus melangkah dan duduk penuh takzim menghadiri seluruh rangkaian acara.

Dalam madrasah, udara dipenuhi suara dzikir. Sedangkan di luar, ramai suara tawar-menawar. Anak kecil menangis karena tidak diberi izin membeli ikan cupang oleh ibunya. Beberapa pengemis tua renta nan dekil duduk khusyuk di depan mangkuk kecil sambil merokok, dari tatapannya yang lemah melihat ibu-ibu, bapak tua itu pasti seorang suami yang takut istri. Belasan meter tak jauh dari pengemis tua itu, seorang pengemis lain---dengan usia sekitar empat puluhan---yang kakinya panjang sebelah, duduk memamerkan kaki cacatnya karena suatu sebab yang mengakibatkan bagian kaki kirinya hanya tersisa sampai ke lutut. Tanpa rasa malu, dia menunggu cangkir di depannya sambil menyantap nasi bungkus. Dapat dipastikan dia seorang duda karena ia tak sempat sarapan seperti bapak tua sebelumnya.

"Permisi. Punteeen…!"

Seorang siswi SMA mengendarai motor dengan terburu-buru di tengah keramaianan itu. Membelah keramaian di jalan yang sempit sebab aktivitas jual-beli. Kerudungnya hilang kerapian karena angin yang menampar-nampar kasar. Kedua alisnya menukik tajam disertai bibir monyong seiring dia menjaga fokus serta keseimbangan agar bagian motornya tak sampai menyenggol siapapun atau apapun.

"Can. Lebih cepet, nanti kita telat!" seru Setya yang sedang dibonceng. Tangannya erat berpegangan pada ransel Candra. Sesekali menyugar rambut meskipun tak kunjung rapi karena kini ia bertarung dengan angin.

Plak

"YA ALLAH. ANAK NAKAL! CUCU DAJJAL!" hardik seorang ibu-ibu saat tak sengaja kaca spion mengenai bokongnya.

Setya kembali menyugar rambut.

Di tengah-tengah keramaian serta laju motor Candra yang tak terlalu cepat---karena jalanan yang sempit, ibu-ibu itu sedikit berlari mengejar mereka dengan titik fokus sasarannya kepala Setya.

Sang ibu berhasil di posisi dekat.

Bugh

Ia sekuat tenaga menggebuk kepala Setya dengan kangkung di genggamannya. Kepala Setya ramai dipenuhi daun kangkung. 

Keadaan pasar Kamis menjadi kacau dan belum usai kacaunya saat kaki panjang Setya tak sengaja menendang mangkuk pengemis tua renta. Pengemis tua itu bangkit lalu melolong seakan berubah kuat setelah sebelumnya hanya menunduk seperti belum makan selama sebulan. Semua orang beralih perhatian kepada pengemis tua.

Suara makian serta sumpah serapah si ibu-ibu pemarah semakin mengecil seiring menjauhnya dua berandal itu. Namun yang sisa nampak kini hanya punggung Setya yang mengecil, setelah sebelumnya ia menoleh ke belakang dengan tatapan penuh kengerian tatkala dilaseri mata nyalang penuh dendam kesumat. Perlahan ibu itu mengangkat kangkung di genggamannya. Kiamat sugra. Yang tersisa hanyalah sesal karena kangkung hasil menawarnya telah hancur. Belum dibayar pulak.

Mistake [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang