Jeffrey yang sedang berbincang dengan ibunya di ruang tengah tiba-tiba sja dikejutkan dengan tamu datang. Hana dan Ariana. Teman kecil sekaligus ibunya. Sebab orang tua mereka memang bersahabat, tidak heran jika mereka cukup dekat. Sebelum dia kuliah di Amerika pafa dua tahun silam.
Karena Jeffrey jelas akan jarang pulang. Kalaupun pulang, dia pasti akan sibuk bersama teman-teman dan keluarga dekat saja. Karena jika dengan Hana jelas sudah tidak memiliki alasan untuk berjumpa.
"Jeffrey, kamu kenapa semakin tinggi? Kapan pulang? Kenapa tidak pernah main di rumah?"
"Hehehe. Baru kemarin lusa, Tante. Hana, kamu sudah kelas tiga, ya? Nanti mau kuliah di mana?"
Hana langsung duduk di atas sofa. Di samping Jeffrey karena Jessica baru saja bangkit dari sana. Membawa Ariana ke dapur sekaligus menerima bingkisan yang dibawakan.
"Belum tahu, tapi Mama dan Papa ingin aku tidak kuliah di tempat jauh."
"Owhhh, iya juga. Mereka pasti takut kamu tidak bisa makan dan tidur. Mengingat semanja apa kamu dulu."
Hana tersenyum malu. Sebab dia memang terkenal sangat manja oleh pria itu. Karena dulu, apapun yang terjadi padanya pasti akan diadukan pada si ibu. Termasuk ketika ada yang menepuk pundak ketika ingin berguarau saja saat itu.
Alhasil, si pelaku harus terkena amuk. Karena Ariana memang begitu memanjakan Hana saat itu. Tidak mengizinkan anaknya terluka seinchipun. Apalagi disakiti siapapun. Meskipun konteksnya hanya bercanda dan tidak serius.
Tidak heran jika Hana berakhir tidak memiliki banyak teman. Karena selain dia tidak pandai mencairkan suasana, ini juga karena Ariana sangat membatasi hidupnya. Apalagi dalam lingkup pertemanan. Karena tidak ingin Hana bergaul dengan anak-anak nakal yang akan membuatnya membangkang.
Perbincangan mereka tidak berjalan menyenangkan. Karena hanya Jeffrey saja yang mencari topik pembicaraan. Sedangkan Hana hanya menjawab singkat.
Convo killer sebutannya. Membuat Jeffrey yang sejak tadi sudah menahan diri langsung undur diri setelah merasa habis topik. Dengan alasan ingim buang air kecil. Namun setelahnya, dia tidak kunjung kembali. Hingga dia dipanggil karena jam makan malam telah dimulai.
6. 10 PM
Jeffrey sudah tiba di ruang makan. Di sana hanya ada dia, ibu dan ayahnya. Karena dia memang hanya anak tunggal. Tidak heran jika dia sering merasa kesepian jika di rumah.
"Jeffrey, kata Mama kamu sudah bersikap tidak sopan tadi? Kamu meninggalkan Hana sendiri. Pamit ke kamar mandi tapi tidak kembali-kembali."
"Not my fault, Pa. Aku sudah menahan diri selama setengah jam. Mencari topik pembicaraan dan dia hanya menjawab singkat saja. Aku juga malas jika harus lama-lama berbincang dengannya. Aku rasa, kemampuan berkomunikasi Hana belum berkembang sejak dulu hingga sekarang. Mungkin karena dia terlalu dikekang ibunya. Seharusnya kalian memberi saran jika hal itu tidak baik untuk pertumbuhannya. Apalagi dia mau lulus SMA, kan? Tidak mungkin juga dia ada dalam pengawasan Tante Ariana selamanya."
Sandi dan Jessica diam saja. Membenarkan apa yang Jeffrey ucapkan. Karena ketika bertemu Hana, anak itu memang selalu diam. Tidak akan buka suara jika tidak ditanya. Bahkan terkadang, jawabannya tidak sesuai pertanyaan pula.
Beberapa hari kemudian.
Hari ini hari sabtu dan Liana tidak libur. Bahkan, dia harus masuk sore dan pulang pagi. Karena dia ganti shift.
Sehingga kini, Joanna yang mengantar ke pabrik plastik. Karena motornya akan dipakai si anak untuk belanja bulanan malam nanti. Besoknya, Joanna pula yang akan menjemputnya pagi-pagi.
"Kalau menyebrang lihat kanan kiri! Jangan asal terobos dan dimaki orang lagi!"
Seru Liana sembari turun dari motor. Lalu memberikan lima lembar uang berwarna merah. Untuk membeli beras dan kebutuhan yang lainnya. Sebab dia begitu sibuk dan tidak sempat berbelanja.
"Bu, aku boleh beli sepatu? Sepatuku sudah rusak. Sudah penuh jahitan juga."
Liana tampak menatap Joanna tajam. Pertanda jika dia tidak setuju dengan apa yang baru saja Joanna katakan. Membuat si anak langsung menarik nafas panjang dan berpamitan. Sebab dia tidak ingin malu karena dimarahi di depan banyak orang.
"Kalau tidak boleh ya sudah! Tidak usah marah! Aku pulang sekarang!"
Joanna langsung melajukan motor Beat menuju danau dekat pabrik plastik. Guna mencari udara segar saja di sini. Sembari meratapi nasib yang menurutnya menyedihkan sekali.
Plung...
Joanna melempar kerikil kecil ke danau ini. Sembari menangis tanpa dia sadari. Sebab sedih karena merasa jika ibunya tidak sayang dia sama sekali. Karena hanya kerjaan saja yang dipikir.
"Padahal aku sudah mengerjakan semua pekerjaan rumah! Bersih-bersih, memasak, mencuci dan belanja bulanan juga. Tapi kenapa aku minta beli sepatu saja tidak dibelikan? Apa aku bukan anaknya?"
"Sepatumu masih bagus, mungkin."
Joanna langsung menyeka air mata. Lalu menoleh pada sumber suara. Pada pria tinggi berlesung pipi yang baru saja duduk di sampingnya. Di kursi kayu yang menghadap danau sekarang.
"Tahu apa kau tentang hidupku!?"
Tanya Joanna ketus. Dengan kedua tangan yang masih sibuk menyeka air mata saat itu. Lalu menatap Jeffrey yang saat ini tengah tersenyum. Seolah mengejek dirinya yang baru saja menangis tersedu.
"Maaf, aku hanya menebak saja. Kenalkan, aku Jeffrey. Kamu siapa?"
Joanna hanya menepuk tangan Jeffrey. Enggan berjabat tangan dengan pria ini. Karena dia memang kurang respect setelah pria itu sok tahu seperti tadi.
"Aku tidak tanya!"
Joanna langsung bangkit dari duduknya. Lalu mendekati motornya. Pergi dari sana begitu saja. Meninggalkan Jeffrey yang sekarang tengah menatap bangku di sampingnya. Sebab di sana, ada gulungan uang warna merah yang sepertinya milik Joanna.
6. 00 PM
Joanna sengaja belanja lebih awal. Sejak sore hingga baru selesai sekarang. Sebab dia benar-benar harus mencari barang yang agak murah namun juga memiliki kualitas standar. Seperti beras, sabun dan yang lainnya. Tidak heran jika dia butuh waktu lebih lama karena dia harus mengelilingi seluruh isi tempat belanja.
Ketika sedang mengantre di barisan paling belakang, tiba-tiba saja Joanna menatap sepasang sepatu warna hitam yang terpasang di dekat dia berdiri sekarang. Sepatu dengan tali tipis dan terlihat mahal.
Karena memiliki price tag seharga satu jutaan. Membuat Joanna hanya bisa menelan ludah karena tidak akan bisa membelinya. Sebab ibunya pasti akan murka karena mereka memang harus berhemat.
Jangankan sepatu harga satu juta. Belanjaan mereka selain sayur selama satu bulan saja hanya menghabiskan dana setengah juta. Sepatu paling mahal yang Joanna punya juga seharaga 150 ribuan. Itu saja dibeli di pasar dan tidak pada supermarket apalagi mall di kota mereka.
"Mau sepatu itu? Aku bisa belikan asal kamu mau mengajari aku pakai motor dalam satu minggu."
Joanna langsung menolehkan kepala. Menatap Jeffrey yang sudah berada di belakangnya. Tanpa membawa apa-apa. Tidak seperti dirinya yang tengah memegang troli di depan.
Kalo jadi Joanna, kalian mau ambil penawaran ini nggak?
Tbc...
