PROLOG

60 6 1
                                    

    Kata orang dunia ini fatamorgana. kata orang juga, dunia hanya tempat singgah sementara. Namun menurutku, dunia ini seutuh utuhnya. Iya. Seutuh utuhnya tempat manusia diuji keimanannya. Meski firman Allah telah menjelaskan kata -sesuai batas kemampuannya- nyatanya, dunia ini benar-benar menggempur manusia sehabis habisnya. Mereka yg sudah tunduk sebagai hamba seharusnya sadar, satu satunya clue selamat dari fitnah dunia tersimpan dalam satu kata simple yg sangat mudah terabaikan, sembah.

    Dibalik banyaknya mulut yg mengaku beriman banyak pula yg ternyata lalai dalam sholatnya. Heuh, padahal sholat itu tiang agama.
Kebanyakan, termasuk aku sebelum hari ini, mengerjakan Sholat karena takut neraka, meninggalkan maksiat karena ingin surga. Padahal kan, Surga dan Neraka cuma perihal ridho enggaknya Allah sama kita.

    Seperti Sholatku kali ini, aku sama sekali tidak tahu apakah Allah ridho menerima nya atau tidak. Sebab aku sholat munfarid meski aku telah resmi memiliki seorang imam. Aku menatap lurus kedepan, menatap seorang yg tengah qiyamussholat dibalik tirai satir pemisah. Tadi aku segera sholat karena kukira dia sudah sholat, sebab di Kampus aku sering melihatnya sudah di masjid saat awal waktu.

Tanpa sadar, setetes air mata lurus mengaliri pipiku. Kan, apa aku bilang tadi. Meski sudah dinash sesuai batas kemampuan, aku ternyata masih merasa amat kesakitan. Para tim medis sekarang pasti sedang sibuk mengatur kepulangan jasad Papa, dan aku masih terbelenggu di Mushola rumah sakit dengan segala bingung dan tanda tanya besar diatas kepala. Allah benar benar membuktikan Kun fayakun-Nya kepadaku hari ini.
Seseorang dibalik tirai itu berdiri, beranjak dari tempat sholatnya, mataku tanpa sengaja mengikuti langkahnya, menyaksikannya satu kalimat padaku sebelum benar benar keluar Mushola.

"Aku tunggu kamu di depan" Kata yang membuat ku refleks mengangguk begitu saja.

Suaranya begitu khas, begitu terngiang ngiang diotakku,. Suara yg tidak akan pernah aku lupakan seumur hidupku.
"Qobiltu nikahaha watazwijaha bimahrin madzkur, halan". Ingatanku mereplay kejadian beberapa jam lalu.

Kejadian saat ia mengikrar namaku dihadapan Papa. Aku tau ini terlalu klise. Akad nikah didepan Papa karena naza'nya, karena aku sudah berjanji saat menikah Papa-lah yg akan menjabat tangan calon suamiku, dan karena tidak ada orang lain didekat sini kecuali dia itu klise. Dan aku tau ini takdir.

Papa meninggal setelah 20 menit pasca akadku berlangsung. Tepat setelah seluruh keluarga berkumpul, dan beliau mengenalkan menantu barunya.
Astaghfirullah. Kenapa aku melamun begini, sih.

Aku harus segera keluar. Harus segara pulang bersama keluarga  yg lain. Secepat mungkin aku melipat mukenah. Menghapus sisa-sisa air mata dan bergegas keluar mushollah.

Ternyata, dia duduk menungguku tak jauh dari tempatku meletakkan sepatuku. Aku mendekat duduk disampingnya, memasang sepatu.

Ini pertama kalinya kami duduk bersebelahan, sedekat ini. Selesainya aku memakai sepatu, ia beranjak berdiri, mendahuluiku. Sejauh ini tidak ada satupun kata yg keluar diantara kami. Dia memang pendiam, setahuku sih.

"Sini liat tangan kanan kamu" aku yg tidak paham dengan kata kata nya sontak bereaksi "Ha?" baru juga berdiri, pikirku. Mana fokus Sama suaranya.

Ia tidak menjawab. Melainkan langsung meraih tangan kananku. Memasangkan cincin dijari manisku.

Bukan, bukan cincin emas. Aku bahkan tidak tau ini cincin apa .

"Cincin ini dibelikan ibuku saat aku masih SD . Satu satunya pemberian ibu yg bisa aku bawa kemana mana dengan aku jadikan  gantungan kunci mobil." Dia bercerita sambil menggenggam tanganku erat sekali. Membuat jantungku gemuruh akibat matanya sama sekali tidak berpaling, terus menatapku.

"Rasulullah pernah memerintahkan kami memberi mahar meski hanya cincin dari besi. Besok aku belikan yg lebih berharga ya...?"

Hasbunallah wanikmal wakil. Nikmal maula wanikmal Nashir.

Aku seperti merasakan setetes embun dingin menimpa hatiku. Membuat jantungku lebih bergemuruh lagi.

"Ayo!" Ajaknya, sekaligus menyadarkanku  yg sempat tercengang beberapa saat. Aku mengangguk, iya.

Ia kemudian berjalan mendahuluiku seperti biasanya seperti sebelum sebelumnya.

Sedangkan aku, aku berjalan dibelakangnya sambil mengamati cincin yg tersemat di hari manisku. Pantas ukuranya kecil. Dia bilang belinya saat masih SD.

Seuntai senyum lolos menghiasi wajahku. Bagaimana tidak? dia ternyata jauh dari anggapanku tentang nya dulu. dia sekarang bukan si ketua Hima kampus atau Asdo dingin dengan banyak penggemar di seluruh penjuru kampus.

    Didepanku dia hanya Mirza, suamiku.
Heavenly husband.

                  ____________________________

Cuap cuap ye..
Maaf rada alay. Author baru umur 17.
Jadi susah ngebahasainnya.

Semoga selalu dalam lindungan Allah yaaa...

Go follow my ig: @wardhhannaj29_😍

Go follow my ig: @wardhhannaj29_😍

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


_____________

Jangan lupa baca Al qur'an!

My Heavenly Husband✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang