BAGIAN SATU

32 6 3
                                    

     Jam dinding dirumah menunjukkan pukul setengah sepuluh saat kami semua, sekeluarga, selesai membereskan rumah selesainya tahlil 7 hari wafatnya Papa. Aku orang kota, jarang ada yg menggunakan tradisi Jawa seperti ini. Tapi entah, kemarin saat Mirza mengusulkan, seluruh keluarga sepakat menyelenggarakan. Maklum, Mirza kan, NU tulen.

     Oh iya. Aku sampai lupa. Aku belum memperkenalkan anggota keluargaku. Padahal aneh, kalau aku tidak mengungkit mereka. Mamaku orang yg sabar dan tekun. Ia adalah orang yg mampu mengobati rasa sakit hati papa pasca kepergian Bunda.

Eit, tunggu dulu . Cerita mereka nggak se-simple itu. Dulu, bunda membawaku pergi meninggalkan Papa setelah ia tau kalau ternyata ia mengidap Limfoma, dan tidak mungkin bisa sembuh. Bunda tidak ingin Papa repot mengurus sakitnya sekaligus tak tega aku harus kehilangan kasih sayangnya.
Bertahun tahun Papa mencari   keberadaan Bunda dengan dukungan Mama. Tapi ternyata, Allah menyusun skenario pertemuan Papa dan Bunda disaat saat-saat terakhir Bunda, sebelum ia dikuburkan. Kejadian satu tahun yg lalu benar benar bak drama dalam hidupku. Aku yg awalnya tinggal bersama Bunda, Bibi Ren _art dirumah yg sudah bunda anggap sebagai kakaknya_ dan putranya, kang Fathur, diminta Papa untuk ikut tinggal di rumahnya.

Tinggal bersama seatap dengan orang orang yg kebanyakan orang sebut keluarga.
Ternyata sebelum menikah dengan Papa, Mama sudah pernah menikah serta memiliki seorang anak yg sekarang tinggal bersama kami. Plot twist-nya, dia yg menjadi kakakku ini ternyata Kaprodi di kampusku sekaligus merapal sebagai cinta pertamaku. Aku tidak munafik untuk mengatakan kalau aku tidak pernah mencintai laki laki sebelum menikah. Sebab cinta itu fitrah. Tidak ada yg salah dalam hal mencinta. Yg salah itu tingkah mencintainya.

Meski aku dan Pak Fian _Alfian namanya_ namun aku sudah terbiasa menyebutnya dengan panggilan kampus, sempat saling tau perasaan masing masing, kami tak pernah menjalin hubungan spesial apapun. Apalagi pacaran.

Sebab aku pernah berjanji pada Bunda kalau aku tidak akan pacaran sampai aku di ijab-kan. Dan janji itu kupatuhi, sama sekali tidak ada niatan mengingkarinya. Kedekatanku dengan Pak Fian saat itu selesai karena kesalah pahamanku. Namun semua itu sudah berlalu.

Sekarang pak Fian sudah menikah dengan putri rektor kampus yg menjabat sebagai sekretaris Hima. Sekretaris Mirza.

"Ay ?" Panjang umur . Baru juga nyebut namanya, sudah nongol saja.

Aku menoleh keasal suara .

Ayolah masa aku harus memperjelas kalau yg memanggilku itu Mirza.

"Ibu sama Bapak mau kesini besok, mau takziah katanya jadi sementara aku harus pulang nemenin mereka di rumah." Aku mengangguk anggukkan kepalaku. Paham.

Lagi pula seminggu ini Mirza juga selalu pulang pergi antar rumah. Bersikeras tak mau menginap dirumah Papa.

Tapi kalau dipikir bagus juga lagipula aku tidak bisa membayangkan seberapa awkward suasananya kalau sampai kami harus tidur di bawah atap yg sama.

"Mulai besok kamu ikut tinggal dirumahku ya?" What? Mataku membelalak mendengar penuturan Mirza.

Baru juga dibayangkan,sudah terealisasi saja.

"Tapi Ayla" _

"Aku sudah membicarakan ini sama Mama kamu. Aku lebih gak bisa kalau harus membicarakan yg sebenarnya soal kita didepan orang tuaku." Sekarang rasa bersalah menyeruak memenuhi rongga dadaku, pernikahan ini memang banyak merugikan Mirza.

Aku mengangguk, merespons kata kata Mirza.

"Maaf sudah membuat kamu diposisi ini." Kudengar dia menghela nafas mendengar permintaan maafku.

My Heavenly Husband✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang