BAGIAN SEPULUH

23 4 1
                                    

     Katakanlah ini babak baru dalam hubunganku dan Mirza. Hubungan kami saat ini terasa lebih fleksibel, tidak kaku seperti dulu-dulu. Semalam, Mirza bilang dia sudah confess soal hubungan kami pada Yusuf. Jadi pagi tadi kami berangkat ke kampus Bersama. 

Oh ya, aku belum cerita, Mirza disemester genap ini, sudah tidak mengajar sebagai asdo Pak Zuh lagi, dia mengundurkan diri agar bisa lebih fokus pada serentetan acara sebelum wisudanya berlangsung. Maklum, sebentar lagi, kan Mirza yudisium. Keberangkatan Mirza ke kampus hari ini saja semata-mata karena ini menemui semprul sekaligus dengan teman-temannya yang sidang bersamanya waktu itu.

Di depan sana, Pak Rudi tengah berceramah menambahi keterangan presentator. Disampingku Afika justru mendekat membisikkan sesuatu

"Jurnal kita harus diupload lusa." Bisiknya. Kok?

"Lah? Cepat amat perasaan." Aku balas berbisik. Diantara 12 mata kuliah di semester 2 ini, Pak Rudi dengan beruntunnya mengembang mengemban 2 Matkul sekaligus. Jadi kami para maba ini harus bertemu beliau seminggu dua kali. Savage.

Selain itu, beliau juga memberi tugas yang berbeda dengan dosen lainnya. Jurnal, maksudku. Berdasarkan kesepakatan, jurnal tersebut memang diupload seminggu setelah pembagian RPS.

"Emang udah waktunya, juga." Yang jadi masalahnya, kok bisa aku seteledor ini dengan tugas. Apalagi tugasnya anti mainstream, begini.

"Udah jadwalnya." Imbuh Afika kemudian.

"Resti, tahu?" Tugas jurnal kami berkelompok. Dengan jumlah mahasiswa yang presisi, akhirnya setelah kelompok dibagi, per-kelompok terdiri dari 3 orang secara merata. Dan kebetulan, aku dan Afika sekelompok.

"Lu doang yang kudet." Wajah Afika jadi tertekuk. Akhir-akhir ini aku memang lebih sering menghabiskan waktu secara real-life. Hehehe. Maksudnya, full di dunia nyata. kegiatan membuka gadget juga hanya terhitung jari.

Aku menampilkan muka termanisku pada Afika. Plus puppy-eyes, tentunya. Yang sayangnya, seperti biasa, tidak mempan kepadanya. Ya iyalah, yang paling mempan aku begini kan, kan, Mirza.

"Kita mau meeting ntar pas selesai kelas. Lu bisa ikut nggak?" Duh, mana Aku ada janji dengan Mirza.

Sambil menetralisir kekagetanku atas ajakan Afika yang tiba-tiba, aku bergerak merogoh smartphoneku dari saku tas.

"Ntar, gue izin dulu." Ini izinnya harus gimana, ya?

"Good." Afika mengomentari keputusanku untuk langsung izin tersebut.

Masalahnya, aku bingung harus izin bagaimana. Setelah mengetik baris kata, membacanya ulang, bukannya mengirimkannya, aku justru kembali menghapusnya.

Duh, harus diawali dengan apa pesanku ini? Masa, iya, pakai salam? Za, Assalamualaikum, gitu ? Tidak bisa. Ini bukan gayaku. Selama ini, aku tidak pernah mengirim pesan lebih dulu pada Mirza. Makanya, jadi kikuk begini.

 Makanya, jadi kikuk begini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
My Heavenly Husband✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang