BAGIAN EMPAT

16 5 5
                                    

     Aku menatap pantulan diriku di cermin rias kamar. Niatnya mau membetulkan posisi jilbab, eh, gak taunya keterusan. Yang menambah lapisan bedak, lah, yang kepikiran ide memakai lipstick tipis tipis, lah, yang coba coba pakai mascara dan eyeliner, duh lama lama mukaku bisa penuh make up kalau begini.

Sebelum wajahku  menjadi ondel-ondel kompleks, aku segera menyetop kegiatan un-faedahku didepan cermin sore ini. Aku kan, harus beres-beres kamar.

Hari ini Mirza pulang lebih petang, katanya dia ada jam mengajar sore ini di semester 3. Jadilah aku harus mengurus rumah sendirian sambil menunggu dia datang.

Tanganku meraih kotak bludru berwarna merah yang tergeletak disamping cup day cream. Didalamnya ada cincin berukiran inisial M dan N sebagai tanda keterikatanku dengan Mirza. Aku pun memakainya. Selama ini, saat kuliah aku memang tidak pernah memakainya, aku baru memakainya saat sampai di rumah biasanya. Intinya, aku hanya mengenakan cincin nikahku saat di rumah saja.

Itung-itung menghindari gimick dari tetangga kanan kiri Fakultas. Berbeda denganku, Mirza justru santai dan tetap mengenakan cincinnya di campus. Dia ini tak takut ketahuan apa?


Untuk mengantisipasi banyaknya waktu yang terbuang percuma, aku segera memulai kegiatan soreku. Kebetulan hari ini saatnya ganti sprei ranjangku. Karna aku begitu suka sprei biru Bunda, jadi kupasang saja sprei itu di ranjang tidur ku.

Setelah memasang spreiku, aku pindah ruangan membawa sprei lain ke ruangan Mirza.
Di bandingkan dengan ruanganku, ruangan Mirza jauh lebih kecil. Hanya sepertiganya saja. Didalamnya, ada banyak sekali buku yang tersusun rapi di rak samping ranjang.

Setelah memasang sprei abu-abu Mirza, aku tertarik melihat-lihat buku-buku yang berjajar rapi itu. Di ujung rak paling bawah, aku melihat buku bercover coklat yang amat kukenali.

Teman-temanku banyak yang punya buku itu. Lebih-lebih itu memang buku yang direkomendasikan dosen pengampu. Judulnya BK islam karya drs. Syamsul munir amin M.A.

Selain itu, satu buku lain yang juga menarik perhatianku adalah buku filsafat ilmu. Nanti kalau Mirza pulang, aku izin pinjam, ah…

Setelah beres-beres ringan, aku meraih sapu hendak menyapu kamar. Saat itulah suara Mirza memanggil-manggil namaku terdengar.

Baru datang bukannya  salam, terus nyamperin, malah teriak-teriak entah kemana. Karena mendengar panggilan Mirza, otomatis pekerjaanku tertunda. Setidaknya aku harus menghampirinya dulu, bersalaman, baru bisa kembali dengan pekerjaan yang aku tunda. Bagaimanapun kan, aku harus memenuhi panggilan suamiku kapanpun dan dimanapun.

Sekeluarnya aku dari kamar aku langsung menuju ruang tamu, barangkali Mirza ada di sana, tapi ternyata tidak ada, loh?

“Za, kamu dimana?” meski tau ruangan-ruangan di rumah ini kedap suara, aku tetap mencoba bersuara, barang kali terdengar oleh Mirza.

“Di meja makan”. Apa dia bawa makanan?

Heuh, padahal aku sudah cari resep di YouTube tadi.

Mendengar jawaban Mirza aku melangkahkan kakiku kearah dapur, kearah meja makan. Begitu sampai mataku langsung tertuju pada satu  objek  didepan Mirza.

“Kue siapa ini?” Aku mendekat, mengulurkan tangan minta bersalaman.

Awalnya aku tidak kepo dengan itu kue siapa, tapi begitu ingat kalau Mirza dan aku sama-sama tak berulang tahun, jadi aku tanya saja terang-terangan.
Mirza memberikan tangan kanannya, membiarkanku menciumnya bolak-balik. Tapi dia tak membiarkan tanganku lepas dari pegangannya.
Happy anniversary yang kesatu bulan.”

My Heavenly Husband✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang