BAGIAN ENAM

13 4 0
                                    

    Kakiku melangkah cepat melewati koridor lantai satu menuju parkiran FH. Tadi saat menghubungi Mirza, dia bilang dia sudah stand by di mobilnya. Jadi aku tinggal langsung menghampirinya. Sore ini ternyata tidak semelelahkan yang aku bayangkan. Matkul terakhir yang seharusnya di isi oleh Pak Fian mendadak free karna Pak Fian memiliki urusan mendadak di luar kampus. Entah urusan apa.

Yang jelas plus-nya aku jadi tidak membuat Mirza menungguku sampai menjelang maghrib seperti biasanya.
“Nunggu kelamaan, gak ?” Basi-basiku begitu memasuki mobil.
“Wa’alaikum salam.” Eh. Iya, lupa. Akupun mengucapkan salam sembari meminta bersalaman. Mirza, sambil menjawab mengulurkan tangannya menyalamiku.

Sayangnya, basa-basiku tadi tidak terindahkan.

Sore ini entah kenapa akau merasa ada yang berbeda dari Mirza. Biasanya dia selalu memulai percakapan, baik menanyakan tugas, bagaimana hariku, capek atau tidak, tapi kali ini perjalanan kami sepi. Dia tidak mengucapkan sepatah katapun. Sampai kami tiba di rumah.

   Barulah saat aku membuka kunci rumah, dia akhirnya mulai mengatakan sesuatu.

“Aku mau ngomongin sesuatu sebentar di dalam habis ini.” Aku meliriknya sebentar kemudian mengangguk. Tumben dia seserius ini. Apa dia ada masalah, ya?

Begitu pintu rumah kembali tertutup, aku sempat melihat Mirza menghela napas. Membuatku semakin penasaran, sesuatu apa yang ingin dia sampaikan sampai harus membuat janji temu begini.
Setelah sama-sama menaruh barang bawaan ke dalam kamar, kami kembali bertemu di ruang keluarga untuk memulai pembicaraan. Karna ini pertama kalinya kami mengobrol serius setelah sebulan menikah, tanganku sampai berkeringat dingin saking gugupnya.

“Kamu tadi udah makan siang belum ?” Sambil duduk dengan ekspresi yang fresh seperti biasanya, Mirza justru menanyakan ini. Padahal aku sudah sangat tegang ini…

“Udah. Kenapa ?”

“Gakpapa. Aku gak suka aja liat kamu tegang gitu.” Lah yang bikin aku tegang begini itu siapa, Pak Suami ?
Mirza mengakhiri basi-basinya dengan dehem. Sepertinya topik inti kami akan segera di mulai.

“Berapa kali kamu kuliah pakai cincin ?” Yang Mirza maksud pasti cincin pernikahan kami. Aku menggeleng. Aku tidak pernah memakai aksesoris nikah itu di area campus.
“Gakpernah.”

“Seriously ?” Dih, gak percaya.
“Serius.”

“Tadi Fiqi bilang kalau dia udah tau siapa pemilik pasangan cincin yang aku pakai. Dia tau kalau itu kamu.” Whats ? kok bisa ? cincin pernikahan kami berukirkan inisial N&M dan M&N, sedangkan sefakultas tau kalau namaku Ayla bukan Nayla. Lantas darimana Fiqi bisa tau ?

“Tau dari mana ?”
“Ya mana aku tau. Dengan Fiqi tau begini, aku jadi semakin terbatas kalau mau ngapa-ngapain. Apa-apa jadi takut ketahuan semprul lain.” Aku memang tidak mengecualikan siapapun dalam obyek kerahasiaan pernikahan kami.
Tidak jauh di sampingku, Mirza memijat pelipisnya. Memangnya sepelik itu, ya, kalau sampai ketahuan ?

“Yusuf bisa marah kalau dia tau aku nikah sama kamu.” Yang aku suka dari Mirza, dia selalu terbuka dalam setiap masalahnya kepadaku. Dia selalu memposisikanku seolah aku orang penting yang harus tau setiap keadaannya.

“Bisa gitu ?” Dia mengangguk.

“Dia udah incar kamu dari pertama kali kamu masuk kuliah. Jauh sebelum keadaan kita jadi kayak gini.”

    Lumayan susah, sih, kalau begini. Di lihat dari sisi manapun, Yusuf akan tetap menganggap Mirza brengsek nantinya. Tapikan, kalau memang takdirnya yang seperti ini, ya, mau bagaimana lagi? Otakku memutar proyeksi wajah ke tiga teman Mirza.

My Heavenly Husband✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang