BAGIAN DUA

21 5 0
                                    

"kenapa mukanya ditekuk begitu?"

lah?

Pak Fian yang baru pulang dari kampus ikut nimbrung duduk setelah bersalaman dengan Kak Dira.

Hubunganku dengan Pak Fian memang sudah bisa dikatakan baik baik saja. Pak Fian akhirnya rela dan pasrah menerima takdir kami masing masing. Kak Dira yang masih tampak agak dingin menyikapi ku. Entah alasannya apa.
Aku yang gelagapan menjawab asal, sekenanya "Mirza mau ajak Ayla tinggal bareng dirumahnya,'' aku menjawab sambil meraih ponselku. Kak Dira sudah selesai, aku juga tentunya.

"Bagus dong daripada dia capek capek pp antar rumah.'' Pak Fian malah lebih seenaknya lagi kalu menimpali.

"Atau  kalau enggak, Mirzanya yang ikut timggal disini.'' Ini lagi lanjutan nya malah makin ngawur lagi.

Pak fian, Pak Fian. Ngasih saran kok gak klop sama sekali.

"Kamu sudah bilang Mama, kalau mau tinggal di rumah Mirza ?'' aku menoleh, mencurahkan semua atensiku pada Kak Dira. Ini pertama kalinya dia bersuara dari sejak aku duduk disini sedari tadi .

Aku menggeleng tipis.

" Tapi Mirza bilang, dia yang diskusiin ini sama Mama.'' Kak Dira mengangguk anggukkan kepalanya, paham.
"Bentar, aku mau naruh ini dibelakang" Pamit kak dira kemudian ia beranjak meninggalkan aku dan Pak Fian berdua.

Hanya berdua.

Padahal sebaik baik aja-baik baik ajanya hubunganku dengan Pak Fian, kalau harus berdua saja begini, ya, tetap akan awkward.

Akhirnya ponsel-lah yang menjadi pelampiasanku. Padahal aku sendiri tidak tau mau  membuka atau mengecek apa.

Sedari tadi saja tanganku hanya mengulang ulang sentuhan yang sama. Swipe menu, tekan kembali, menu lagi, kembali lagi. Begitu seterusnya.

Sampai suara Pak Fian, menginterupsi kegiatanku.

''La?'' aku refleks mendongak menatap lurus kearahnya. Sambil menunjukkan ekspresi bertanya 'apa, kenapa?''.

Sorot matanya menatapku dalam. Mau biasa aja bagaimanapun, tatapan Pak Fian masih tidak bisa berbohong atas perasaannya. Dari matanya saja, aku dapat menerawang dengan mudah seberapa ia khawatirnya ia padaku.

''janji, ya, kamu akan bahagia sama mirza?'' jless, apa aku bilang. Endingnya awkward kan?

Apalagi aku sekarang . Aku justru me-replay masa masa kebersamaan kami dulu. Masa masa dimana ia belum menjadi kakakku.

Hari itu, salah satunya. Hari yang meski seharusnya tidak usah , masih keukeuh tak enyah dari ingatanku. Dari dulu dari kecil aku bukanlah type yang suka melewatkan sarapan pagi. Tapi pagi itu aku berangkat kuliah lebih pagi dari biasanya dengan diantarkan Kang Fathur.

Laki-laki tanggung dengan mata elang dan pahatan wajah nyaris sempurna_ini pandanganku dulu_,tengah duduk santai di depan kelasku. Sama sekali tidak tampak sedang mendengarkan presentasi dari rekan mahasiswa ku yang kini pasti sedang dag-dig-dug setengah mati di depan sana. Tangannya menggerakkan mouse dan sesekali mengetik kan sesuatu di keyboard laptopnya. Entah apa yang sedang dia kerjakan. Dia memang selalu begitu, maksudnya begitu apatis pada sekitar.

Tapi, kan, gak pas presentasi kelas juga kali. Sudut bibirnya kerap terangkat 0,4 mm saat presentatornya terpojok dan tidak dapat mengeluarkan vocab lagi dari mulutnya. Sadis memang.

Si dosen penyandang nama Alfian kaishan adetya itu, kini bersiap mengakhiri kelas. Menyuruh mahasiswanya berdoa setelah sebelumnya memberi petuah-lah atau bahkan kadang malah peraturan baru yang mau tidak mau harus disepakati seluruh isi kelas. Dasar otoritas.
Lalu seperti biasa, dia menyuruh mahasiswa nya untuk keluar kelas lebih dulu. Seisi kelas pasti iya iya saja, orang mereka saja sedari tadi sudah ingin keluar dari situasi menegangkan ini, kecuali aku.

My Heavenly Husband✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang