BAB 6

103 12 3
                                    

Langkah kaki yang dibuat sepelan mungkin supaya tidak menimbulkan suara karena tanpa disadari banyak mata yang akan memperhatikan dan telinga yang akan mendengar saat berada di kediaman Keluarga Windsor. Berada di tempat yang jauh hiruk-piruk perkotaan, membuat Kediaman ini di penuhi beberapa tanaman indah yang tidak bisa dijumpai dengan mudah. Bahkan, tidak ada kolam renang melainkan danau buatan yang masih terlihat asri dan menenangkan. Wanita itu menghela napas legah saat melihat halaman yang biasanya dipakai Putra dan Putri Windsor berkumpul, sebelum pembantaian itu.

Selama 20 tahun terakhir, banyak penerus Windsor yang menghilang dan meninggal tiba-tiba.

Salah satunya yang meninggal hari ini, Edigma Windsor; sepupu dari Egriziq Windsor yang sudah menjadi pemimpin Windsor selama beberapa tahun terakhir setelah kematian dari Gervaso Windsor yang tiba-tiba.

Dan satu hal yang pasti, bahwa Esparka Windsor, Gervaso Windsor, dan Edigma Windsor memiliki ciri-ciri yang sama, yaitu luka bakar di punggung tangan mereka. Luka bakar yang terdapat di punggung tangan juga banyak didapati pada para pelayan dan pekerja yang meninggal di tempat ini selama belasan tahun terakhir.

Dan ia yakin, ada seseorang di sini yang dengan sengaja melenyapkan seseorang yang ia kehendaki.

Wanita dengan kain hitam yang menutupi setengah bagian atas wajah dan rambutnya itu menunduk, menurunkan pandangannya pada perut ratanya. Mengelusnya dengan perlahan.

Anak yang tidak pernah ia miliki sepenuhnya.

Dan ia yakin, anaknya masih hidup.

Masih.

Iya yakin, bahwa Windsor dan Victoria adalah penyebab utama ia kehilangan anaknya.

Apakah anaknya masih hidup?

"Siapa?"

Napas wanita itu terhenti saat suara berat seorang laki-laki mendekat ke arahnya. Mempertanyakan siapa dirinya.

"Dia sepertinya penyusup, Geo." Wanita itu berusaha untuk bergerak cepat sebelum genggaman seorang perempuan menahan lengannya. "Keamanan Windsor sudah terlalu ketat untuk orang asing yang menyusup. Berarti, anda bukan orang asing kan? Ini bukan kali pertamanya anda menginjakkan kaki di sini." Suara itu. Sangat mirip dengan suara Aludra saat remaja dahulu, suara yang selalu mempertanyakan dan memperdebatkan suatu hal yang tidak sesuai dengan pemikirannya. Sangat mirip dengan Aludra. Tapi sayangnya, wanita itu sangat mengenal wajah adik perempuannya. Dan wajah perempuan ini terlalu asing untuk dirinya.

"Kenapa lo berpendapat bahwa dia bukan orang asing, Alhena?" Geografi bertanya, sambil merangkul perempuan itu.

Alhena?

Nama yang tidak asing untuk wanita tersebut.

"Karena tidak ada yang bisa memasuki area terlarang Windsor dengan mudah. Kita aja tadi berusaha buat ngelabuin Om Malik yang daritadi ngintai kita. Gimana sih?" Alhena menatap kesal Geografi yang memberikan kecupan singkat di area bahunya yang sedikit terbuka.

"Biarin aja dia pergi. Keknya dia gak mencuri. Dia bisa mati kalau ketahuan di sini," ujar Geografi, sedikit menggigit daun telinga Alhena yang memerah.

Alhena mendesah kasar, melepaskan genggaman tangannya pada lengan wanita yang tidak ia kenali tersebut. "Pergi. Sebelum kamu mati," ujarnya, mengusir.

"Terima kasih."

Kemudian berlari sekuat tenaga untuk keluar dari tempat terlarang tersebut. Tanpa memperdulikan apa yang dilakukan kedua remaja tersebut setelah kepergiannya. Keduanya memang suka bertingkah liar saat suasana terasa sepi seperti ini.

Tautan bibir keduanya semakin mendalam saat Alhena menekan tengkuk Geografi yang beberapa kali mengigit bibir ranum gadis itu. Bahkan tangan laki-laki itu tidak tinggal diam, mencari pengait dress hitam yang digunakan sang gadis dan melepasnya dalam waktu seperkian detik.

Alhena mengatur napasnya saat Geografi melepas ciuman keduanya, dan fokus untuk menciumi leher jenjangnya dan sesekali meremas payudara gadis itu yang membuat desahan kembali lolos dari bibir tipis Alhena.

"Gue beneran gak tahan..." Sembari meloloskan dress tersebut dari daksa sang gadis.

Alhena terkekeh, karena acara pemakaman Om Edigma yang dilaksanakan selama lima hari membuat waktu mereka berdua tersita. Biasanya Geografi tidak pernah mendapatkan penghalang untuk menikmati tubuh Alhena dalam waktu yang cukup lama.

"Lo beneran di sini aman ah..." Alhena menggegam ranting kayu yang ada di dekatnya saat Geografi sudah memulainya. Beberapa kali sang gadis harus menahan desahan kenikmatan tersebut saat terik matahari mengenai wajahnya. Bahkan tusukan dari rerumputan liar itu jauh tidak terasa daripada tusukan dari milik Geografi. Laki-laki pertama yang menciumnya dengan sangat lembut, sampai menciumnya dengan sangat kasar.

Ia tidak pernah menyangka bahwa Geografi adalah laki-laki pertama yang menjamah tubuhnya dan mengambil mahkotanya saat ia berusia 16 tahun pada 1 Februari dua tahun lalu di salah satu Mansion Keluarga Victoria. Mereka melakukannya setelah makan malam dalam perayaan Ulang Tahun Pernikahan Egriziq dan Aludra. Berbincang di atap saat jam dua pagi membuat ciuman yang awalnya hangat berubah menjadi panas di saat udara sangat dingin.

Alhena tersenyum saat Geografi yang ada di atasnya tersenyum karena mencapai klimaks. Kecupan singkat menutup pergulatan mereka siang hari ini. Keduanya tertawa, seakan bercinta di ruangan terbuka adalah sesuatu yang sangat luar biasa. Seperti kalian benar-benar berada di surga.

Keduanya memang selalu merasa berada surga, walaupun tanpa disadari sebenarnya kedua tumbuh di neraka.

"A–aku membunuhnya..."

Getaran dari suara istrinya membuat pria yang masih mematung di depan pintu itu hanya bisa menghela napas. "Tidak. Dia belum mati." Egriziq meraih dagu perempuan yang tergeletak di atas lantai itu. Ia masih merasakan napasnya. Lalu melemparkan senyum tipis pada Aludra. "Tidak apa-apa. It's not big problem, Sica. Jangan khawatir. Bersihkan dirimu."

Aludra menggeleng. Ia menatap nanar kedua telapak tangannya yang telah dilumuri darah segar milik perempuan itu. Napasnya memburuh, seakan napasnya tercekik oleh sesuatu yang sangat berat. "Aku tidak sengaja, Riziq," lirihnya, dengan susah payah.

"Saya tahu." Pria itu langsung meraih serpihan kaca yang ada di tangan Aludra dan menggenggamnya. "Saya akan menyuruh Liana untuk menyiapkan tempat berendammu." Sembari memindahkan darah di telapak tangan wanita itu ke pakaiannya. Lalu menuntun telapak tangan dingin yang masih bergetar itu ke pipinya. "Kamu terlihat cantik, Sica."

"Selalu cantik."

Egriziq berbalik, menatap punggung tangan perempuan muda itu. Dan ia yakin, ia masih hidup.

.
.
.

HALO SEMUANYA, MAAFKAN ATAS KESIBUKAN AKU YANG MEMBUAT KALIAN HARUS MENUNGGU KELANJUTAN DARI KISAH YANG MENURUT BEBERAPA ORANG INI TERLALU SUSAH UNTUK DICERNAH OLEH ORANG AWAM.

AKU HARAP, CERITA AKU BISA MEMBUAT KALIAN BAHAGIA BUKAN SEMAKIN MENYENGSARAKAN KARENA IKUT PUSING SEPERTI AKU.

SEKALI LAGI TERIMA KASIH.

SALAM CINTA,

PURPLE.

EVERMORETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang