BAB 3

237 21 3
                                    

"Kamu suka sekali memecat pelayan yang tidak bersalah, Aludra." Gadis bersurai coklat itu menaruh cangkir kopi di atas meja berbentuk bundar tersebut. Ia kemudian ikut duduk di samping adiknya yang masih fokus pada ombak, yang seakan mengajak adiknya berbicara. Alezna berdecak, "sepertinya berbincang dengan pantai, lebih membuatmu tenang daripada berbincang denganku." Seakan merajuk pada Aludra.

"Bukannya parasit harus disingkirkan?" lirih Aludra, lalu menyeruput kopi avocado tersebut.

"Aludra, tidak semua yang bertentangan dengan kamu adalah parasit. Pelayan itu hanya menjalankan tugasnya, dengan memberitahu Bunda bahwa kamu menindas pelayan baru lagi." Terlahir sebagai putri pertama membuat pemikiran Alezna jauh lebih terbuka daripada Aludra, gadis itu akan selalu menghargai perbedaan. "Kamu hampir membunuhnya, Aludra."

"Tidak. Dia memang pantas mati."

"Memangnya kamu siapa yang memberikan jangka waktu dari kehidupan seseorang?" Kali ini, sang Kakak memilih untuk menyerang adiknya.

"Aku Tuan-Nya. Ayah membeli budak-budak tersebut untuk melayani kita."

Gadis itu menghela napas, merasa sesak dengan pemikiran dan lidah tajam adiknya sendiri. "Ayah membebaskannya, tidak membelinya." Suaranya bergetar.

Gadis bersurai hitam itu langsung melemparkan cangkir tersebut, sebagai tanda kekesalan pada Kakaknya sendiri. Gadis itu menggeram, menahan emosinya untuk meluap dan menyakiti gadis yang dua tahun lebih tua darinya tersebut."Kau terbawa perasaan lagi, Alezna," sindirnya. Saat mendapati Alezna memegangi dadanya yang sesak karena suara lemparan cangkir tersebut. Jantung Kakaknya memang tidak sekuat itu, tetapi hatinya terlalu luas untuk menerima dan memberi cinta untuk orang lain. 

"

Sekali-kali pakai perasaanmu, Aludra." Alezna bersuara, saat Aludra berjalan masuk ke dalam Villa. 

Kalau dari dulu, Aludra memakai perasaannya. Ia tidak akan menikmati kemewahan ini. Cinta dan perasaan akan melemahkan seseorang dan membuatnya jauh dari kekuasaan. Hasrat bercinta akan memutuskan mekanisme dalam mendapatkan uang yang menjadi tameng dalam politik kekuasaan. Tanpa kekuasaan ini, Aludra tidak akan bisa memenuhi gaya hidup mewahnya selama bertahun-tahun. Ia tidak apa-apa hidup dalam kekosongan perasaan, daripada kekosongan harta benda. Berbicara pada kekosongan, mengapa tidak ada satupun pelayan yang membantunya berendam. Ke mana mereka semua? "Liana!" Wanita bersurai panjang yang diikat ke atas itu berteriak mencari asisten pribadinya. Karena tidak mendapatkan jawaban apapun, wanita itu memilih untuk berdiri dan meraih handuknya yang entah sejak kapan diarahkan kepadanya.

"Sama-sama." Seseorang bersuara, saat Aludra memasang handuk tersebut.

Kedua kelopak matanya melebar karena menyadari suara siapa yang ada di belakang. "Riziq!" sentaknya, lalu berbalik menatap seorang pria yang bersandar di daun pintu kaca tersebut.

"Kenapa?" Ia bertanya, seakan tidak melakukan kesalahan apapun.

"Kenapa? Kamu memasuki kamarku tanpa izin." Aludra lebih memilih untuk keluar dari ruang mandinya, dan berjalan ke dalam ruangan megah berisi pakaian-pakaiannya. "Dan kamu juga mengikutiku ke dalam walk in closet. Tidak sopan!"

Egriziq menarik satu sudut bibirnya. Lalu menunjuk salah satu dress berwarna hitam, yang memiliki tempat khusus di dalam etalase kaca. "Bukannya itu pakaian saat saya hendak memperkosa-mu."

EVERMORETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang