BAB 1

391 32 1
                                    

Hembusan napas terdengar dari bibir merah seorang wanita cantik yang masih terdiam di depan pintu ruangan megah tersebut. Kalaupun uang dan kekuasaan tidak bisa abadi, ia akan mempertahankan kebadiaannya. Menahan egoismenya kali ini, adalah pilihan yang tepat daripada kehilangan itu semua. Aludra berbalik, menatap asisten suaminya yang daritadi menunduk. "Sampaikan pada Tuan Riziq kalau saya ingin menemuinya, setelah ia selesai dengan jalang barunya." Aludra tersenyum tipis, lalu berjalan meninggalkan tempat tersebut. Mendengar suara-suara menjijikan tersebut, membuat telinganya sakit. 

"Nyonya..." Liana bersuara setelah mereka melewati pavilium tersebut. "Apa Nyonya baik-baik saja?" tanyanya, pelan.

"Apa yang kamu harapkan? Saya mengacak-ngacak tempat itu? Tidak kan. Ini bukan kali pertama pria sialan itu melakukan hal menjijikan seperti tadi." Hampir belasan tahun menikahi pria itu membuat Aludra sudah terbiasa dengan semua tingkah ajaib dan menyakitkan yang diberikan oleh Riziq kepadanya.

Semuanya.

Ia akan menerimanya.

Tapi, itu tidak gratis. Karena pria itu memberikan harta tak terkira kepadanya, dan itu sudah cukup setimpal.

"Kalau kamu tidak ingin sakit hati, jangan menaruh hati." Wanita cantik itu tersenyum samar, seperti mengingat masa lalu yang berusaha ia kubur. "Hanya orang bodoh yang terpukau pada kata hatinya."

.
.
.

Suara dari lemparan buku paket itu membuat seorang gadis berbandana biru navy langsung mendesah kesakitan. Lalu mengarahkan tatapan tajamnya pada seorang lelaki yang masih berdiri di atas anak tangga paling atas. "Apa maksud lo, bangsat?" bentak Alhena, melemparkan kembali buku paket tersebut ke arah Geografi.

Lelaki itu tersenyum tipis, tanpa aba-aba menangkap buku paket yang mencapai 300 halaman tersebut. "Lo cuma numpang di sini, belagu banget mau pakai rumah ini buat party."

Alhena mendesah kasar. "Ehh, take your mirror. Lo juga numpang anjir, yatim banyak gaya. Duit-duit Kakak gue, ngapa lo yang sewot!" Gadis itu mencerca, sembari memperbaiki tatanan rambutnya yang rusak akibat ulah dari saudara Kakak iparnya.

"Sumber duit Kakak lo darimana? Dari Kakak gue kan?"

"Terus?"

"Cewek belagu," lirih Geografi.

"Gak sadar diri."

"Alhena, belajar sadar diri. Gue beban Kak Riziq sejak bokap sama nyokap meninggal, 6 tahun lalu." Geografi menuruni tangga, sembari menyalakan pematik untuk membakar batang rokoknya. "Sedang lo?" Lelaki itu mengikis jarak antara wajahnya dengan wajah Alhena. "Beban dari lahir!" ujarnya, penuh penekanan.

Cuihh.

Dengan sengaja Alhena meludahi wajah angkuh Geografi yang terlalu dekat dengan wajahnya. "Sorry, lo terlalu dekat." Gadis itu tersenyum manis, lalu mengambil tasnya yang ada di atas sofa.

Bukannya membalas dengan hal yang sama, Geografi lebih memilih untuk memberikan kecupan singkat di bibir ranum Alhena. Hingga kecupan tersebut berubah menjadi lumatan yang membuat seragam sekolah mereka terkoyak karena nafsu keduanya. Tautan tersebut langsung terlepas saat keduanya kekurangan pasokkan udara.

"Lo gila?" cerca Alhena, sembari memeriksa sekeliling, sembari menempelkan keningnya di hidung bengir Geografi. "Kalau Kak Aludra tau gimana?" Gadis itu berbisik.

"Want more?" Suara serak Geografi, dan pandangan sayunya saat lelaki itu memintah hal yang sama.

"Nanti aja."

"Gue maunya sekarang."

Karena membangkitkan kekesalan sang gadis membuat lelaki itu merasakan perih di bibir tipisnya akibat tamparan nyaring tersebut. "Bacot banget sih." Alhena langsung berjalan cepat ke arah kamar lelaki itu, penempatan kamar yang memiliki lantai berbeda dengan Aludra dan Eriziq memudahkan mereka untuk melakukan hal yang lebih jauh. Lebih jauh yang kadang tidak memiliki ujung.

Dengan senyuman tertahan, Geografi melebarkan langkahnya mengikuti langkah Alhena yang sudah memasuki kamarnya. Tak lupa mengunci pintu, untuk meminimalisir kecurigaan saat seseorang melewati kamar tersebut.

Kalau bisa dibilang, ini bukan kali pertama ataupun kali kedua mereka melakukan hubungan seperti ini. Dengan kata lain, keduanya lebih sering melakukan hubungan kenikmatan ini dibanding dengan Egriziq dan Aludra.

Bertengkar dan bercintai lagi.

Atau bercinta dan bertengkar lagi.

"Bangsat! Kenapa di dalam lagi!"

"Terlanjur."

"Kan udah dibilang tadi pakai kon—" Lelaki itu langsung membungkam bibir gadis itu saat seseorang mengetuk pintu kamar tersebut, keduanya saling bertatapan seakan semuanya akan berakhir hari ini. Suhu ruangan yang sudah dingin, tidak bisa membuat mereka merasa lebih nyaman.

"Tuan muda, waktunya makan malam..."

"Ahh... Iya."

"Siapa?" Alhena bertanya tanpa suara, sembari memeluk tubuh Geografi yang masih berkeringat.

"Pelayan."

"Emang lo lapar?" Gadis itu berbisik, sesekali menggigit bagian tubuh Geografi yang ia kehendaki.

"Gak juga."

"Kalau makan gue mau?"

"Mau," jawabnya, cepat.

Belum sempat lelaki itu menindih kembali tubuh Alhena, suara tajam Aludra kembali terdengar di telinga keduanya.

"Rafi, apa Lhena di dalam?" Suara Aludra di depan pintu serasa mengintrograsi.

Tanpa berlama-lama, lelaki itu langsung membuka pintu dan menemui Kakak iparnya. "Hah? Gak ada, Kak." Geografi berusaha terlihat seperti orang yang baru bangun tidur.

Mendengar jawaban dari saudara iparnya membuat wanita itu berbalik, menatap seorang pelayan muda yang melapor kepadanya. "Liana, bereskan barang-barang pelayan itu."

Kelopak mata sang pelayan langsung melebar, sembari berlutut di kaki Nyonya ia berkata, "Nyonya, jangan pecat saya. Saya benar-benar mendengar suara Tuan muda dan Noba muda sedang melakukan perbuatan yang tidak seharusnya."

"Tidak seharusnya?" Aludra bertanya, lalu berlutut di depan pelayan muda tersebut. "Bukannya yang bertindak tidak seharusnya adalah kau? Pelayan rendahan!" Tatapan dan lidah itu akan selalu menjadi ciri khas Aludra. Menyingkirkan dan memecat orang lain adalah kebiasaannya sejak muda, karena dulu ia kesayangan Ayah.

Keluarganya hancur karena Kakaknya.

.
.
.

EVERMORETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang